Senyap mengepung seketika. Awan gelap memayungi kami yang sedari tadi tidak saling bicara. Aku menatapnya. Matanya berkaca-kaca. Lelaki mana yang kuasa menahan, untuk memberi ketenangan kepada yang dalam dirinya hanya ada kelembutan, meski hanya tatapan perduli, atau sedikit senyum mengalah. Tapi itu mungkin, bagi kebodohanku membuatnya diam, kikuk, dan gagap menyikapi situasi rumit ini. Kebodohan bagi arti sikap yang tiada sanggup memecah sebuah arti: cinta bukan mainan yang bisa dimiliki kapanpun ketika ingin, sesuka hati datang dan pergi. Dan senyap itu pecah, seiring pekat awan menggumuli gelegar petir dan riuh angin. Badai bermula,
“kamu pikir kita serius ?!”
“Pikir kamu ?!”
“Ini hanya permainan, Fietri. Kamu cuma nyari kesenangan. Begitupun aku !”
“Apa yang bisa buat kamu percaya dan yakin kalau aku serius ?!”
“Kamu itu anak-anak !”
“Aku mencintai kamu !”
“Cinta ? Simpen aja kata bodoh itu dalam saku seragam kamu !”
“Tatap mataku !”
“Hahaha.. Ini bukan lelucon sinetron ! Coba jelasin, kenapa kamu mencintai aku ?”
“Itu ga perlu.”
“Aku butuh penjelasan supaya bisa percaya dan yakin !”
“Apa yang aku rasain ini emang ga butuh di jelasin ! Bahkan terlalu rumit buat dijelasin !”
“Itu negasin kalo kita ini ga serius. Ya emang ga mesti serius kan ?”
Kulirik dirinya. Dia menatapku dalam. Segera kulempar pandanganku pada ketenangan danau yang mulai terusik oleh titik-titik air hujan. Kulirik lagi dirinya dengan sedikit senyum simpul sinis. Air matanya meleleh bersamaan dengan makin derasnya hujan. Aku agak tersentak. Ada rasa tak tega melihatnya menangis. Apapun itu, ini pertama bagiku membuat wanita menangis. Kemudian terdengar lirih ucap darinyan yang samar ditelan deras hujan,
“usia kita hanya beda tiga tahun, apa salah ? Bukannya cinta ga kenal usia ? Aku bukan anak SMP lagi. Dua tahun kita jalanin ini, seanaknya kamu ngomong gitu ? Nganggep ini cuma permainan ? Kamu pikir aku ini apa ? Kamu.. kamu brengsek tau ga ?”
Enteng aku membalas ucapannya,
“Hahaha.. Kita cukup sampe disini aja ya ? Maaf, aku capek !”
***
Cinta bagiku rumit. Jauh lebih rumit dari analisis regresi dan korelasi. Tidak banyak memang, kisah cinta kualami sepanjang hidup. Tapi ada sebekas trauma dari sekelumit rasa itu. Rasa yang menjadikan diriku pecundang dan memberikan keyakinan bahwa keindahan dan keluguan cinta hanyalah klise. Berawal dari tatapan gila, kemudian saling kenal, dan berucap janji saling menerima apa adanya. Hipotesisnya adalah, omong kosong !
Ini kisah pertamaku. Kadang pahit bila dikenang. Pernah aku memiliki rasa dengan seorang wanita yang ternyata sudah memiliki kekasih. Dia satu SMA denganku. Aku menyukainya sejak pandangan pertama. Namanya Rhesti. Setelah lama saling kenal, akhirnya dia menyatakan bahwa dirinya tidak punya kekasih. Singkat waktu, kuungkapkan apa yang kurasa padanya. Dia menerimaku. Hari-hari pertama membuatku dimabuk kepayang, entah baginya. Suatu ketika dia menuntut supaya aku tegas dengan perasaanku.
“Kamu serius kan sama aku ?”
“Khok kamu ngomong gitu ?”
“Kamu kan cowo, bisa kamu ngomong sama dia ?”
“Dia ? Dia siapa ? Maksud kamu apa ?”
“Nanti malam temui aku di taman. Kita buat awal yang indah.” Dia menutup pembicaraan, tak acuh denganku yang bingung.
Aku memenuhi permintaannya. Setelah menunggu lama di taman yang sepi, dia datang. Dia duduk disampingku. Aku kikuk. Makin kikuk ketika tiba-tiba dia memelukku. Keringat bercucur deras, aku salah tingkah dengan ketidakwajaran yang baru kualami ini. Tiba-tiba dia berkata lirih di dekat telingaku, “kamu kan cowo, bisa kamu ngomong sama dia ? Aku sayang sama kamu.” Jidatku mengernyit. Alisku beradu.
Tiba-tiba datang segerombolan anak muda menghampiri kami. Beberapa diantaranya berpakaian seperti berandal lampu merah. Seorang laki-laki kurus menghampiri kami. Dia mendekatiku. Dan,
“jadi ini cowonya...” BUKKKKK !!!! Dia menonjok dengan amat kerasnya hingga darah segar kemudian mengalir dari dua lubang hidungku.
“Apa-apaan ini ?” kataku sambil meringis kesakitan. Aku melihat Rhesti tersentak melihatku berdarah-darah. Lantas Rhesti menghampiriku, kemudian meminta agar tidak perlu ada kekerasan. Laki-laki kurus itu kemudian menyambar,
“Rhesti, kamu cinta kan sama aku ? Kita udah lama saling ngerti. Hancur begitu aja Cuma gara-gara dia ?! Itu ga bisa aku terima !” Dia hendak menghajarku lagi, tapi Rhesti menghalangi. “Gaza, kamu kan cowo, ngomong dong !” Rhesti memohon agak keras padaku. Aku gagap. Si kurus menyambar lagi,
“terus apa arti ciuman kita kemarin malam, Rhes ?” Aku tersentak bukan main. Ciuman ? Si kurus menyambung,
“udah sekarang kamu pilih aku, dia aman. Atau pilih dia, dia mati !” Mati ? Aku pandangi di kejauhan, segerombolan teman si kurus yang siap dengan kepalan tinju dan beberapa balok kayu. Si kurus makin berani, dia hendak menghajarku lagi, tapi lagi-lagi Rhesti menghalangi. Lantas Rhesti berkata, “Biar Gaza yang nentuin.”
Aku paham akan suatu hal. Aku terdiam sesaat. Raut Rhesti seolah ingin aku segera menentukan. Ini rumit. Aku terbata berkata padanya, “bener kemarin kamu ciuman sama dia ?” Rhesti menunduk. Raut mukanya berubah drastis. Si kurus tersenyum puas. Aku tersenyum sinis, “biar Rhesti yang nentuin,” kataku. Rhesti kaget. “Yaudah, kalian semua ga kaya yang aku harapkan. Kamu sok jagoan. Kamu, Gaza, aku sayang kamu. Aku berharap kamu mau berkorban buat aku. Buat kita,” mati untuk seseorang yang belum tentu menjadi istriku ? Bahkan dia telah membohongiku dan menjebakku dengan rencana busuk ini ? Konyol pikirku. Aku hanya bisa terdiam, Rhesti menyambung berusaha dengan nada terkesan frustasi, “aku ga milih kalian berdua ! Aku ga mau ada yang tersakiti.” Omong kosong. Bangsat.
Malam itu berakhir indah. Awal yang sangat indah. Seindah duri mawar, menancapi dasar hati, membeku didalamnya sebagai buah simalakama, bersirat kesimpulan yang belum bisa aku mengerti, tentunya dengan pilihan yang tidak memihak. Si kurus lagak sok jagoan membela cintanya dengan kesiapan pecundang main keroyok atau Rhesti yang penuh kebohongan dan rencana omong kosong. Cinta memang rumit. Aih, tunggu. Apa aku saja yang belum bisa mafhum yang namanya cinta ???
***
Dua tahun bukan waktu yang lama. Selama itu pula aku mengabaikan perasaan Fietri. Menjadikan dirinya kambing hitam bagi keegoisanku. Ini semakin diperparah keputusanku melupakannya. Melupakannya untuk mencari sebuah jawaban bodoh dari pola pikirku yang masih belum bisa menerima ketulusan cinta. Lebih-lebih terselip dendam akan pengalaman pahit masa laluku dengan Rhesti. Tapi itu semua sia-sia. Nyatanya sampai saat ini aku tidak membuka hati untuk orang lain dan masih mengangap Fietri adalah yang terbaik. Fietri tidak bersalah !
Aku tidak bisa fokus mencari bahan skripsi. Entah berapa lembar halaman dari banyak jurnal penelitian yang aku sibak tanpa membacanya. Perpustakan yang sunyi menyudutkanku. Buku-buku tua seolah menatap sinis dan berkata, kamu tidak lebih dari seorang anak-anak. Pikiranku meraba-raba keruh kenangan saat meninggalkan Fietri dengan begitu bengisnya. Tiba-tiba aku teringat Fietri. Dan pertanyaan itu meluncur tegas, runcing sudutnya berkilau tajam, siap menusuk, menancap hatiku paling dalam, dan merobeknya: mengapa harus sekejam itu terhadap Fietri ?
Derit kursi memecah keheningan. Aku beranjak dari tempat duduk, berjalan menelusur barisan lemari yang berdiri congkak. Buku-buku tua masih menatapku sinis. Aku melangkah hampa, meniti satu per satu anak tangga, menghitung seberapa banyak kesalahan yang harus ditebus. Pandanganku menelusur lantai bawah yang masih tersekat ketinggian, titian anak tangga seolah sepakat untuk melemparku dari lantai tiga. Aku dijegal rasa bersalah yang teramat. Aku brengsek. Teramat brengsek.
Setengah berlari aku meninggalkan gedung perpustakaan menuju kos untuk mengambil laptop. Rindu tiba-tiba datang menghampiri. Keresahan menghantuiku Dua tahun bukan waktu yang sebentar, tapi sulit bagi kejujuranku yang yakin semua tentang cinta adalah permainan. Fietri tak jauh berbeda dengan Rhesti. Mereka pasti punya tujuan sama untuk bermain-main dengan hati. Seolah menegaskan hadirnya, wanita adalah sosok lembut yang patut diberi kewenangan untuk menentukan kepuasan hasratnya. Aku sadar. Itu samasekali tidak benar !
Kubuka laptop, dengan resah dan gundah aku hendak mencari tahu tentang Fietri. Aku berharap dia masih sudi memaafkanku. Kubuka facebook dan twitternya, ternyata sudah lama tidak aktif, aku sedikit kecewa. Aku menyesal telah menghapus nomor teleponnya. Harapanku tertuju pada mesin pencari, tidak perduli berapa banyak nama Fietri di dunia ini, aku cari satu per satu untuk mencari informasi tentangnya. Setelah sekian banyak, aku menemukan blog pribadinya. Aku tersentak, sampul blog bergambar foto dirinya yang sedang bergandeng tangan dengan laki-laki yang entah siapa. Kubaca arsip terbitan barunya, postingan tertanggal dua bulan lalu, sebagian besar berisi kekagumannya terhadap sorang laki-laki. Kupikir laki-laki itu adalah yang bersamanya di foto. Kubuka arsip empat tahun kebelakang yang berisi ketegarannya menyikapi diriku, aku terenyuh, bahkan banyak dia sebut namaku dalam tulisannya itu. Kupandangi wajahnya pada foto, terlihat lebih dewasa dan modis. Aku merindukannya, tapi sayang dia sudah milik orang lain. Aku menyesal telah menyia-nyiakannya.
***
Hari ini aku hendak ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing skripsiku kemudian meluncur ke Jakarta, mengurus berkas aplikasi dan wawancara beasiswa program masterku di univeritas Melbourne. Setelah konsultasi, Profesor Loekas kebetulan hari itu hendak ke Jakarta juga. Dengan senang hati beliau memberiku tumpangan. Di tengah perjalanan, setelah menerobos kemacetan daerah Jatibening, aku teringat Fietri.
Kubuka laptopku untuk melihat kembali blognya. Aku kaget sekaligus senang, dia memosting sebuah tulisan, baru tiga jam yang lalu. Kubaca dengan seksama. Kesenangan itu berubah pilu. Ditulisnya kepedihan dirinya seolah tidak memiliki semangat untuk hidup. Di akhir cerita, dia menulis nama sebuah tempat, mungkin tempat dimana cerita itu di tulis. Aku trsentak, tempat itu adalah “Rumah Sakit Spesialis Kanker Bhakti Bunda.” Aku bertanya pada Profesor Loekas mengenai rumah sakit itu.
“Di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Limabelas menit lagi dari sini. Kalau kamu mau kesana, nanti saya antar.” Jelasnya. “Iya Prof, tujuan saya pertama kesana. Makasih Prof.”
Mobil terhenti di depan gerbang rumah sakit. Karena alasan sedang terburu-buru, Profesor Loekas tidak mengantarku ke dalam, aku maklum. Pandanganku menyapu kemegahan rumah sakit. Kemegahan yang menyembunyikan kepiluan penghuni di dalamnya. Aku melangkah sedikit gontai hendak masuk. Aku bertanya pada resepsionis pasien atas nama Fietri Nur Akhwat Bhaskoro. Resepsionis berkata “Komplek G, bagian Kanker Syaraf, ruang 173.” Aku segera berlari mencari ruang tersebut. Cemas, khawatir, resah, gundah, semuanya bercampur. Aku terus berlari menyusuri koridor rumah sakit. Kakiku terhenti. Terpampang jelas susunan angka itu. Aku melangkah perlahan mendekati pintu yang tertera nomor 173. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan air mata berurai mendekatiku, badannya tinggi kekar, ia mengepalkan telapak tangan, lantas dengan sekuat tenaga dia meninjuku. Aku terepelanting.
“Brengsek ! Kamu pasti yang bernama Gaza ! Sialan ! Gara-gara kamu anak saya jadi seperti ini !” Rasa sakit terkalahkan oleh bingung. Aku tidak mengerti, mengapa dia bisa mengenali aku ? Dia meremas kerah bajuku, lantas meninjuku lagi. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidungku. Seorang satpam dan beberapa oraang melerai kami.
Aku duduk diujung selatan koridor komplek G dengan rasa bingung. Aku tidak pernah membayangkan semuanya akan seperti ini. Tiba-tiba laki-laki tadi menghampiriku, namun dengan raut yang berbeda dengan semula, terlihat sedikit tenang. Dia menuntunku menuju ruang 173. Aku lihat ada seorang laki-laki yang sepertinya pernah aku lihat. Rupanya laki-laki yang ada di sampul blog Fietri. Dia menjabat tanganku, mukanya terlihat sedih dan pasrah, ternyata dia kakak Fietri.
Aku melihat dari balik kaca pintu, disana tergolek tubuh lemas Fietri, mukanya terlihat sangat pucat. Mulutnya sesekali menganga, seperti sulit bernapas. Kedua tangannya mendekap sebuah bingkai foto. Kakak Fietri menghampiriku dan berkata, “yang ada didekapannya itu foto kamu.” Tanpa sadar air mataku meleleh. Seorang dokter menyiapkan alat kejut jantung kemudian seorang suster menyibakkan gorden dari balik pintu. Aku terduduk lemas di depan pintu. Meratapi semua kesalahan atas kebodohan yang pernah aku perbuat kepada Fietri.
Kakak Fietri menghampiriku. Dia duduk disebelahku dengan raut pasrah, matanya berkaca-kaca. Dia lantas memberikan selembar kertas diary yang tertulis beberapa kalimat. Aku kenal betul, itu tulisan Fietri. Dengan kepedihan dan kesadaran akan maaf yang mungkin tiada lagi bisa terucap, dan kepiluan rasa sesal yang mendalam, aku membacanya perlahan:
“Aku tulis ini dengan sadar. Aku harap kamu mengerti dan menganggapku bukan anak-anak lagi. Seberat apapun aku kecewa, hingga maut pun tidak pernah bisa membujuk ku untuk berhenti menyayangimu. Selamat ulang tahun, Gaza. 17 Maret 2011. Dari yang selalu mengharapkanmu, Fietri NA Bhaskoro.”
“KRIIIIIIIINGGGGGGGGGG !!!!” Dering jam beker memekakkan telinga. Aku tersentak dan bangun dengan kepala agak pusing karena harus terbentur sisi meja belajar. Laptop masih terbuka. Setelah sedikit sadar, kutilik monitor laptop yang masih menampilkan windows media player classic, kubaca pojok atasnya tertera judul: Surat Kecil untuk Tuhan. Adzan Shubuh pun berkumandang. Ternyata Cuma mimpi. Lifelikeness, bin aneh.