Blogroll

BIOSKOP (sebuah cerita pendek FTS)

Desember 29, 2013 |




Waktu kecil aku selalu memikirkan kaktus yang bersahabat dengan gurun-gurun. Atau daun-daun jati yang berguguran saat kemarau mengepung dusun. Saat itu aku tidak pernah memikirkan bahwa tanpa tanaman, kehidupan ini tidak ada. Namun kali ini aku sedang terlibat dengan sepucuk daun waru tua yang melayang-layang di udara lengang. Daun itu  terhempas diatas air yang tenang. Seketika kelengangan itu teratasi oleh bunyi dentum daun yang beradu dengan air. Dentum yang mencipta lingkar-lingkar longitudinal itu menyeruak dan menyeru kepada kami untuk segera menyusul. Aku menatap Ario dengan sesimpul senyum. Aku yakin dia punya pemikiran sama soal ajakan daun  tadi. Lantas kami menjawabnya dalam satu detik saling pandang, penuh kepastian. Buuuuuuuurrrr ! Badan kurus kami membelah ketenangan Cimanuk. Kulihat di timur matahari genit mengintip kami. Burung-burung terbang dengan riang. Langit jingga menudungi hiruk-pikuk kota Jatibarang. Episode baru dimulai.

“Gila lo ! Dingin banget !” Ario berkata terbata dengan gigi-gigi saling gemeletuk.

“Ah, kampret. Sungai cemar gini lo bilang dingin ? Makan tuh E. Colli !”

“Masih pagi, kampret. Nggak usah sebut istilah sok tahu dulu. Jam berapa lo berangkat ke Purwokerto ?” Tanya Ario dengan nada yang sama.

“Busnya sekitar jam setengah sepuluhan lah.” Jawabku pasti.

“Jangan berangkat sebelum dapet restu gue !”

“Sinting !” Setelah itu kami larut dalam tawa.

            Namanya Ario Senno. Entah angin apa yang membawaku untuk kenal dengan manusia super idiot itu. Waktu kelas sepuluh aku pernah mendengar namanya sering disebut-sebut oleh teman perempuan satu kelas.  Naik kelas sebelas aku mulai tahu rupanya saat wali kelas mengabsen. Apa spesialnya ? Pikirku saat pertama melihat dia. Dia satu kelas. Waktu itu pelajaran biologi. Guru membuka pelajaran dengan memberikan pertanyaan apa itu definisi sel. Sel ? Anak SD juga tahu ! Aku lantas mengangkat tangan dan entah karena kebetulan secara bersamaan manusia ajaib itu ikut angkat tangan. Aku melihat binar-binar matanya penuh dengan kepastian akan sebuah jawaban. Namun aku lebih dulu menjawab.

            “Sel adalah unit terkecil dari kehidupan.” Kataku mantap.

            “Ya. Benar. Ario mau menambahkan ?”

            “Nggak, Bu. Saya kepingin ijin pipis ! Hehe.” Penuh kepastian !

            Bel istirahat berbunyi. Aku sibuk dengan rasa laparku. Kuputuskan untuk berdiam diri di dalam kelas. Manusia idiot itu datang menghampiriku.

            “Sejak kapan sel jadi unit terkecil ? Sok tahu lo !” Kata-katanya meluncur deras. Aku hanya meliriknya sesaat. Dia kembali menyambung, “unit terkecil itu atom. Seperti kata Rutherford, Niels Bohr dan kawan-kawan.” Alisku beradu. Kalau begitu masih ada proton, neutron dan elektron di dalam atom, kataku dalam hati. Dia duduk di sebelahku sambil meletakkan jinjingan plastik, lantas bertanya lagi, “nama lo siapa ?”  Aku menjawab dengan suara tergetar menahan lapar. “Vaza.” Dia lantas menutup rapat hidungnya dengan kedua jari. “Anjrit. Mulut lo bau banget ! Pasti lo belum makan ?!” Sesimpul senyum menahan malu kulemparkan padanya. Kemudian aku merunduk memandang saku baju yang kosong tak berpenghuni. Rupanya dia tahu gelagatku. “Ah. Kebetulan banget gue habis beli jajanan di kantin. Kita makan bareng-bareng. Nama gue, Ario. Ario Senno.” Dua manusia sok tahu lantas berjabat tangan.
                                   
            Sejak saat itu kami berteman. Bahkan kalau boleh pertemanan itu aku anggap sebagai persahabatan. Lagian siapa yang mau larang ? Banyak hal yang telah kami lalui. Tidak cukup kalau harus menuliskannya disini. Yang jelas, dia adalah sosok teman yang tidak seperti teman kebanyakan. Rasanya dia satu-satunya temanku di planet ini. Ketika bersamaku, tidak ada kesan darinya untuk menunjukkan bahwa sebenarnya dia adalah anak seorang manager unit pengolahan minyak terbesar di Indramayu. Dan yang pasti, harus punya kuping tebal untuk menghadapinya jika sedang galau karena soal pacar. Saran cerdas tak cukup untuk menghadapi pemikirannya yang keras dan susah ditebak. Sekali waktu bahkan sering aku kasih saran soal dia yang mula-mula meminta saran, malah dibalasnya, “udah gue duga lo bakal ngomong gitu.” Atau ketika asyik diskusi soal isu baru dari kuliah twit akun @TrioMacan2000 dia menanggapi begini, “baru aja gue mau ngomong gitu !” Seolah hal-hal yang aku pikirkan dan katakan adalah buah jejaknya yang harus dikuti.

            Kebersamaan kami lebih gila ketika ide-ide kreatif menjelma. Mungkin bagi yang lain ini biasa, tapi bagi kami adalah hal yang luar biasa. Nyatanya kelas-kelas lain iri dengan aksi kami sehingga dicap sebagai kelas yang suka cari sensasi. Kami, IPA-1 yang menyekat diri dengan label Student Independent Comunity (SIC) 381 tidak rikuh dengan itu. Pimpinannya tentu si begundal Ario. Kami terlibat dalam produksi film dokumenter sekolah setelah terinspirasi menonton Catatan Akhir Sekolah-nya Hanung Bramantyo. Siang malam kami mengedit sampai teler karena makan mie goreng bikinan Ario yang kebanyakan minyak. Dan akhirnya dokumenter itu sukses membuat teman-teman dan guru-guru terkesan saat acara perpisahan. Produksi itu berbuntut pembuatan film pendek yang dinaungi kepala sekolah. Judulnya “Kidung Senja di Kota Mangga”, Ario tokoh utamanya. Film kacau itu berhasil menyabet piala festival di pendopo kabupaten. Kalau mau nonton, cari saja di youtobe dengan judul yang sama. Jangan ketawa lihat muka konyol Ario dan jangan bertanya kenapa film ini bisa dapat gelar film fiksi pendek SMA terbaik sekabupaten ! Wkwk

Saat kelas sebelas, kami pernah membikin sebuah musikal yang terinspirasi dari Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. Tentu dengan melibatkan anak-anak super kreatif (kere tapi aktif) IPA-1 lainnya. Ario sangat mengidolakan sosok Pak Balia yang diaudiovisualkan Riri Riza dalam film dengan judul yang sama. Dalam musikal pertama di SMA kami yang berhasil menggegerkan seantero sekolah saat pentas ujian praktik itu, Ario berdaulat untuk memerankan sosok Pak Balia dan aku memerankan sosok Arai. Dialog yang selalu dia ulang-ulang dengan gaya khasnya adalah:

“Para pelopor ! Sebelum kita mengakhiri kelas ini. Pekikkan kata-kata yang memberimu inspirasi !”
Kami juga senang membaca. Pernah suatu ketika terlibat dalam pemikiran tentang Tuhan yang mungkin belum terjangkau oleh teman-teman lain setelah membaca roman Atheis, aku lupa karya siapa. Pernah juga tersedu-sedu meratapi sosok Keke dari uraian kata-kata Agnes Davonar dalam Surat Kecil untuk Tuhan. Berontak saat membaca catatan harian Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Penuh peluh saat membaca cerita dewasa agak porno yang berjudul “Bercinta dengan Gigolo”. Atau berapi-api setelah membaca novel Edensor karya Andrea Hirata,

            “Aneu Diara. Jarahlah jantunggku. Curi. Curi semua yang ada.”

Aku senang mengutip puisi dalam novel itu untuk menggoda Aneu. “Kalo lo cuma tau puisi itu doang, gimana Aneu mau terkesan ?! Gue aja mual.” Begitulah tanggapan Ario. Kami juga sepakat kala itu bahwa suatu saat nanti kalau Edensor difilmkan, harus menontonnya sama-sama langsung di bioskop. Ada kata-kata yang paling membekas dari novel tersebut yang sering kami ucapkan bersama, dimanapun ketika ingat. Nanti aku beri tahu.

            Aku sadar Ario turut andil dalam perjalanan hidupku. Dia masuk dalam orang-orang yang paling berpengaruh dalam hidupku. Dia yang mengajarkanku untuk sekuat kaktus yang bersahabat dengan gurun. Dia yang mengajarkanku beradaptasi dengan terik lingkungan seperti pohon jati. Dia yang mengajarkanku bahwa harapan ibarat tanaman, tanpanya tiada kehidupan. Dan tidak pernah sedikit pun aku merasa digurui olehnya. Dia adalah salah satu batu tapal untuk tetap menghidupkan harapan-harapanku.

Aku ingat sekali saat pertama kali berangkat ke Purwokerto untuk kuliah. Demi Tuhan ini benar-benar terjadi. Aku menyembunyikan kepiluan saat kereta Kuto Jaya merapati peron dan peluit mulai melengking-lengking. Aku lihat teman-teman lain diantar oleh keluarga sambil meritualkan haru salam perpisahaan. Aku hanya bisa menelan ludah. Bapak bekerja di Jakarta. Ibu bekerja  nun jauh disana. Nenek mengurusi adik ku yang mengamuk karena tidak ingin aku pergi. Tapi inilah kehidupan. Aku menaiki kereta dengan perasaan getir-se-getir-getirnya. Aku hampir tidak punya semangat lagi. Rasanya percuma. Namun saat aku menoleh ke luar jendela sambil membopong kopor yang berat, aku melihat seorang kurus, kulitnya sawo matang dengan sorot mata yang dalam melambai-lambai sambil menyungginggan senyum. Hp berbunyi, kubuka sms dari Ario; sori, Boi. Terlambat beberapa detik ! Demi Tuhan aku menangis saat itu. Dia memang tahu apa yang aku pikirkan.

            Sejak itu, saat libur maupun berangkat kuliah ke Purwokerto, dia selalu menjemput dan mengantarku. Aku senang suatu ketika dia mengunjungiku ke Purwokerto, walaupun tujuannya hanya sekedar mampir ketika mengantar pacarnya tes SNMPTN. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Kebiasaan kami yang paling seru adalah mempersoalkan S1 yang banyak teori dan D3 yang banyak praktik. Diskusi soal Papua, Indramayu yang bobrok, pekerjaan, masa depan, istri dan anak, atau pacarku yang katanya idiot dan ingusan. Ah, lucu sekali. Ketika membonceng motor, tidak luput darinya adalah berdiri menungging, lalu kentut dihadapan wajahku. Saat makan pun demikian. Dia selalu sendawa dihadapkan wajahku, dengan maksud menyebarkan aroma busuk lambungnya. “Biar nasibmu nggak busuk terus !” Begitu katanya.
           
24 Desember 2013

            Kami membelah langit sore yang pekat tertutup awan mendung. “Kita nonton Edensor, Boi !” Begitu ajaknya. Aku baru saja datang dari Purwokerto dan mengurus acara di Indramayu. Tapi tidak ada kata lelah jika berpetualang dengannya. Sampai di Karang Ampel hujan turun sangat deras, hingga menyisakan jarak pandang 10 meter saja. Tapi kami jalan terus menuju Cirebon. Di Indramayu mana ada bioskop ? Sampai di Grage Mall kami lihat tidak ada poster film Laskar Pelangi Sequel 2 Edensor. Kami meluncur ke XXI terdekat. Beruntungnya, ada. Dan sepuluh menit lagi filmnya diputar. Kami lantas membeli tiket pada mbak karyawan yang cantik. Ario bilang ini kali pertama ke bioskop. Saat tiket digenggaman, kami bingung harus masuk studio mana, lantas kami terlibat saling tatap dalam satu detik yang paling tolol, kemudian bertanya kepada mbak-mbak cantik tadi. “Lha ini mas studio 4. Segitu sudah tercetak gedenya, tebal lagi !” Jawab mbak cantik itu. Kami berlalu dengan langkah konyol.
            Kami masuk studio. Dingin bukan main. Soalnya adalah pakaian kami yang harus basah kuyup karena air hujan yang merembesi mantel. Aku melihat Ario dengan gigi gemeletuk. Aku berkata padanya, “Boi, ini masih dalam bioskop. Belum Eropa yang punya suhu dibawah nol derajat !” Film sudah menayangkan Ikal yang hampir mati diterkam dingin salju Brussels. Tapi dari perkataanku, Ario malah menjawab, “anjrit ! Mulut lo bau banget ! Pasti lo belum makan ?!” Dia kemudian menutup hidung sambil beralih menuju ke bawah. Dia kembali dengan membawa pop corn. “Lo beli berapa duit ini berondong jagung ?” Tanyaku sambil menggigil. “Udah makan aja. Biar mulut lo nggak bau.” Dia duduk kembali di sebelahku. “Nggak sebelum lo jawab.” Alisnya mengernyit.”Limabelas ribu !” Aku tersentak mendengar harga itu. Berondong macam apa ? Tapi itu tidak penting. Film mengisahkan Arai yang mengunci gembok persahabatan di sebuah jembatan terkenal di Paris, kemudian Ikal membuang kunci itu sebagai lambang bahwa persahabatan mereka kekal. “Aku harap kata-kata Andrea Hirata yang spektakuler itu diucapkan Arai di film ini, tapi dari tadi nggak muncul-muncul.” Katanya. “Lha ini adegan Arai di pusara Jim Morisson, bentar lagi dia bacakan puisi buat Zakiah Nurmala !” Ario tutup kuping. Dia hanya melihat sebal kepadaku yang menirukan Arai membaca puisi. Aku sampai hapal betul puisi itu. Fade-in fade-out berikutnya menjenuhkan. Di bagian akhir film,  kata-kata itu muncul juga. Kata-kata yang sering kami ucapkan bersama sejak SMA. Kata-kata yang begitu menggetarkan hati kami:

            Malam itu kami pulang menerobos hujan dan jalanan sepi yang katanya banyak bromocorah pembegal motor dan tidak segan untuk membunuh korbannya. mengambil. Sepanjang jalan hanya motor yang ditunggangi kami yang melintasi jalan itu. Tapi kami tak acuh, terlalu terkesan dengan pengalaman di bioskop tadi. Sepanjang jalan kami mengulang-ulang dialog apa saja dari film itu yang kami ingat. Sampai di Jatibarang kami tutup malam  dengan memakan nasi goreng di pinggir jalan Ahmad Yani. Seperti biasa, setelah makan Ario sendawa di hadapan wajahku. Ooooooooooooghh.. Busuk ! Idiot ! Sinting !

Purwokerto, 28 Desember 2013.
20.15 WIB
Dalam Kost sambil memandangi bungkus berondong jagung XXI

0 comments:

Posting Komentar