Waktu
kecil aku selalu memikirkan kaktus yang bersahabat dengan gurun-gurun. Atau
daun-daun jati yang berguguran saat kemarau mengepung dusun. Saat itu aku tidak
pernah memikirkan bahwa tanpa tanaman, kehidupan ini tidak ada. Namun kali ini
aku sedang terlibat dengan sepucuk daun waru tua yang melayang-layang di udara
lengang. Daun itu terhempas diatas air
yang tenang. Seketika kelengangan itu teratasi oleh bunyi dentum daun yang
beradu dengan air. Dentum yang mencipta lingkar-lingkar longitudinal itu
menyeruak dan menyeru kepada kami untuk segera menyusul. Aku menatap Ario
dengan sesimpul senyum. Aku yakin dia punya pemikiran sama soal ajakan
daun tadi. Lantas kami menjawabnya dalam
satu detik saling pandang, penuh kepastian. Buuuuuuuurrrr
! Badan kurus kami membelah ketenangan Cimanuk. Kulihat di timur matahari genit
mengintip kami. Burung-burung terbang dengan riang. Langit jingga menudungi
hiruk-pikuk kota Jatibarang. Episode baru dimulai.
“Gila
lo ! Dingin banget !” Ario berkata terbata dengan gigi-gigi saling gemeletuk.
“Ah,
kampret. Sungai cemar gini lo bilang dingin ? Makan tuh E. Colli !”
“Masih
pagi, kampret. Nggak usah sebut istilah sok tahu dulu. Jam berapa lo berangkat ke
Purwokerto ?” Tanya Ario dengan nada yang sama.
“Busnya
sekitar jam setengah sepuluhan lah.” Jawabku pasti.
“Jangan
berangkat sebelum dapet restu gue !”
“Sinting
!” Setelah itu kami larut dalam tawa.
Namanya Ario Senno. Entah angin apa
yang membawaku untuk kenal dengan manusia super idiot itu. Waktu kelas sepuluh
aku pernah mendengar namanya sering disebut-sebut oleh teman perempuan satu
kelas. Naik kelas sebelas aku mulai tahu
rupanya saat wali kelas mengabsen. Apa
spesialnya ? Pikirku saat pertama melihat dia. Dia satu kelas. Waktu itu
pelajaran biologi. Guru membuka pelajaran dengan memberikan pertanyaan apa itu
definisi sel. Sel ? Anak SD juga tahu ! Aku
lantas mengangkat tangan dan entah karena kebetulan secara bersamaan manusia
ajaib itu ikut angkat tangan. Aku melihat binar-binar matanya penuh dengan
kepastian akan sebuah jawaban. Namun aku lebih dulu menjawab.
“Sel adalah unit terkecil dari
kehidupan.” Kataku mantap.
“Ya. Benar. Ario mau menambahkan ?”
“Nggak, Bu. Saya kepingin ijin pipis
! Hehe.” Penuh kepastian !
Bel istirahat berbunyi. Aku sibuk
dengan rasa laparku. Kuputuskan untuk berdiam diri di dalam kelas. Manusia
idiot itu datang menghampiriku.
“Sejak kapan sel jadi unit terkecil
? Sok tahu lo !” Kata-katanya meluncur deras. Aku hanya meliriknya sesaat. Dia
kembali menyambung, “unit terkecil itu atom. Seperti kata Rutherford, Niels
Bohr dan kawan-kawan.” Alisku beradu. Kalau
begitu masih ada proton, neutron dan elektron di dalam atom, kataku dalam
hati. Dia duduk di sebelahku sambil meletakkan jinjingan plastik, lantas
bertanya lagi, “nama lo siapa ?” Aku
menjawab dengan suara tergetar menahan lapar. “Vaza.” Dia lantas menutup rapat
hidungnya dengan kedua jari. “Anjrit. Mulut lo bau banget ! Pasti lo belum
makan ?!” Sesimpul senyum menahan malu kulemparkan padanya. Kemudian aku
merunduk memandang saku baju yang kosong tak berpenghuni. Rupanya dia tahu
gelagatku. “Ah. Kebetulan banget gue habis beli jajanan di kantin. Kita makan
bareng-bareng. Nama gue, Ario. Ario Senno.” Dua manusia sok tahu lantas
berjabat tangan.
Sejak saat itu kami berteman. Bahkan
kalau boleh pertemanan itu aku anggap sebagai persahabatan. Lagian siapa yang
mau larang ? Banyak hal yang telah kami lalui. Tidak cukup kalau harus
menuliskannya disini. Yang jelas, dia adalah sosok teman yang tidak seperti
teman kebanyakan. Rasanya dia satu-satunya temanku di planet ini. Ketika
bersamaku, tidak ada kesan darinya untuk menunjukkan bahwa sebenarnya dia
adalah anak seorang manager unit pengolahan minyak terbesar di Indramayu. Dan
yang pasti, harus punya kuping tebal untuk menghadapinya jika sedang galau
karena soal pacar. Saran cerdas tak cukup untuk menghadapi pemikirannya yang
keras dan susah ditebak. Sekali waktu bahkan sering aku kasih saran soal dia
yang mula-mula meminta saran, malah dibalasnya, “udah gue duga lo bakal ngomong
gitu.” Atau ketika asyik diskusi soal isu baru dari kuliah twit akun
@TrioMacan2000 dia menanggapi begini, “baru aja gue mau ngomong gitu !” Seolah
hal-hal yang aku pikirkan dan katakan adalah buah jejaknya yang harus dikuti.
Kebersamaan kami lebih gila ketika
ide-ide kreatif menjelma. Mungkin bagi yang lain ini biasa, tapi bagi kami
adalah hal yang luar biasa. Nyatanya kelas-kelas lain iri dengan aksi kami
sehingga dicap sebagai kelas yang suka cari sensasi. Kami, IPA-1 yang menyekat
diri dengan label Student Independent Comunity (SIC) 381 tidak rikuh dengan
itu. Pimpinannya tentu si begundal Ario. Kami terlibat dalam produksi film
dokumenter sekolah setelah terinspirasi menonton Catatan Akhir Sekolah-nya
Hanung Bramantyo. Siang malam kami mengedit sampai teler karena makan mie
goreng bikinan Ario yang kebanyakan minyak. Dan akhirnya dokumenter itu sukses
membuat teman-teman dan guru-guru terkesan saat acara perpisahan. Produksi itu
berbuntut pembuatan film pendek yang dinaungi kepala sekolah. Judulnya “Kidung
Senja di Kota Mangga”, Ario tokoh utamanya. Film kacau itu berhasil menyabet
piala festival di pendopo kabupaten. Kalau mau nonton, cari saja di youtobe
dengan judul yang sama. Jangan ketawa lihat muka konyol Ario dan jangan
bertanya kenapa film ini bisa dapat gelar film fiksi pendek SMA terbaik
sekabupaten ! Wkwk
Saat
kelas sebelas, kami pernah membikin sebuah musikal yang terinspirasi dari Sang
Pemimpi-nya Andrea Hirata. Tentu dengan melibatkan anak-anak super kreatif
(kere tapi aktif) IPA-1 lainnya. Ario sangat mengidolakan sosok Pak Balia yang
diaudiovisualkan Riri Riza dalam film dengan judul yang sama. Dalam musikal
pertama di SMA kami yang berhasil menggegerkan seantero sekolah saat pentas
ujian praktik itu, Ario berdaulat untuk memerankan sosok Pak Balia dan aku
memerankan sosok Arai. Dialog yang selalu dia ulang-ulang dengan gaya khasnya
adalah:
“Para
pelopor ! Sebelum kita mengakhiri kelas ini. Pekikkan kata-kata yang memberimu
inspirasi !”
Kami
juga senang membaca. Pernah suatu ketika terlibat dalam pemikiran tentang Tuhan
yang mungkin belum terjangkau oleh teman-teman lain setelah membaca roman
Atheis, aku lupa karya siapa. Pernah juga tersedu-sedu meratapi sosok Keke dari
uraian kata-kata Agnes Davonar dalam Surat Kecil untuk Tuhan. Berontak saat
membaca catatan harian Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Penuh
peluh saat membaca cerita dewasa agak porno yang berjudul “Bercinta dengan
Gigolo”. Atau berapi-api setelah membaca novel Edensor karya Andrea Hirata,
“Aneu Diara. Jarahlah jantunggku.
Curi. Curi semua yang ada.”
Aku
senang mengutip puisi dalam novel itu untuk menggoda Aneu. “Kalo lo cuma tau
puisi itu doang, gimana Aneu mau terkesan ?! Gue aja mual.” Begitulah tanggapan
Ario. Kami juga sepakat kala itu bahwa suatu saat nanti kalau Edensor
difilmkan, harus menontonnya sama-sama langsung di bioskop. Ada kata-kata yang
paling membekas dari novel tersebut yang sering kami ucapkan bersama, dimanapun
ketika ingat. Nanti aku beri tahu.
Aku sadar Ario turut andil dalam
perjalanan hidupku. Dia masuk dalam orang-orang yang paling berpengaruh dalam
hidupku. Dia yang mengajarkanku untuk sekuat kaktus yang bersahabat dengan
gurun. Dia yang mengajarkanku beradaptasi dengan terik lingkungan seperti pohon
jati. Dia yang mengajarkanku bahwa harapan ibarat tanaman, tanpanya tiada
kehidupan. Dan tidak pernah sedikit pun aku merasa digurui olehnya. Dia adalah
salah satu batu tapal untuk tetap menghidupkan harapan-harapanku.
Aku
ingat sekali saat pertama kali berangkat ke Purwokerto untuk kuliah. Demi Tuhan
ini benar-benar terjadi. Aku menyembunyikan kepiluan saat kereta Kuto Jaya
merapati peron dan peluit mulai melengking-lengking. Aku lihat teman-teman lain
diantar oleh keluarga sambil meritualkan haru salam perpisahaan. Aku hanya bisa
menelan ludah. Bapak bekerja di Jakarta. Ibu bekerja nun jauh disana. Nenek mengurusi adik ku yang
mengamuk karena tidak ingin aku pergi. Tapi inilah kehidupan. Aku menaiki
kereta dengan perasaan getir-se-getir-getirnya. Aku hampir tidak punya semangat
lagi. Rasanya percuma. Namun saat aku menoleh ke luar jendela sambil membopong
kopor yang berat, aku melihat seorang kurus, kulitnya sawo matang dengan sorot
mata yang dalam melambai-lambai sambil menyungginggan senyum. Hp berbunyi,
kubuka sms dari Ario; sori, Boi. Terlambat beberapa detik ! Demi Tuhan aku
menangis saat itu. Dia memang tahu apa yang aku pikirkan.
Sejak itu, saat libur maupun
berangkat kuliah ke Purwokerto, dia selalu menjemput dan mengantarku. Aku
senang suatu ketika dia mengunjungiku ke Purwokerto, walaupun tujuannya hanya
sekedar mampir ketika mengantar pacarnya tes SNMPTN. Aku sudah menganggapnya
seperti saudara sendiri. Kebiasaan kami yang paling seru adalah mempersoalkan
S1 yang banyak teori dan D3 yang banyak praktik. Diskusi soal Papua, Indramayu
yang bobrok, pekerjaan, masa depan, istri dan anak, atau pacarku yang katanya
idiot dan ingusan. Ah, lucu sekali. Ketika membonceng motor, tidak luput
darinya adalah berdiri menungging, lalu kentut dihadapan wajahku. Saat makan
pun demikian. Dia selalu sendawa dihadapkan wajahku, dengan maksud menyebarkan
aroma busuk lambungnya. “Biar nasibmu nggak busuk terus !” Begitu katanya.
24 Desember 2013
Kami membelah langit sore yang pekat
tertutup awan mendung. “Kita nonton Edensor, Boi !” Begitu ajaknya. Aku baru
saja datang dari Purwokerto dan mengurus acara di Indramayu. Tapi tidak ada
kata lelah jika berpetualang dengannya. Sampai di Karang Ampel hujan turun
sangat deras, hingga menyisakan jarak pandang 10 meter saja. Tapi kami jalan
terus menuju Cirebon. Di Indramayu mana
ada bioskop ? Sampai di Grage Mall kami lihat tidak ada poster film Laskar
Pelangi Sequel 2 Edensor. Kami meluncur ke XXI terdekat. Beruntungnya, ada. Dan
sepuluh menit lagi filmnya diputar. Kami lantas membeli tiket pada mbak
karyawan yang cantik. Ario bilang ini kali pertama ke bioskop. Saat tiket
digenggaman, kami bingung harus masuk studio mana, lantas kami terlibat saling
tatap dalam satu detik yang paling tolol, kemudian bertanya kepada mbak-mbak
cantik tadi. “Lha ini mas studio 4. Segitu sudah tercetak gedenya, tebal lagi
!” Jawab mbak cantik itu. Kami berlalu dengan langkah konyol.
Kami masuk studio. Dingin bukan
main. Soalnya adalah pakaian kami yang harus basah kuyup karena air hujan yang
merembesi mantel. Aku melihat Ario dengan gigi gemeletuk. Aku berkata padanya,
“Boi, ini masih dalam bioskop. Belum Eropa yang punya suhu dibawah nol derajat
!” Film sudah menayangkan Ikal yang hampir mati diterkam dingin salju Brussels.
Tapi dari perkataanku, Ario malah menjawab, “anjrit ! Mulut lo bau banget !
Pasti lo belum makan ?!” Dia kemudian menutup hidung sambil beralih menuju ke
bawah. Dia kembali dengan membawa pop
corn. “Lo beli berapa duit ini berondong jagung ?” Tanyaku sambil
menggigil. “Udah makan aja. Biar mulut lo nggak bau.” Dia duduk kembali di
sebelahku. “Nggak sebelum lo jawab.” Alisnya mengernyit.”Limabelas ribu !” Aku
tersentak mendengar harga itu. Berondong
macam apa ? Tapi itu tidak penting. Film mengisahkan Arai yang mengunci
gembok persahabatan di sebuah jembatan terkenal di Paris, kemudian Ikal
membuang kunci itu sebagai lambang bahwa persahabatan mereka kekal. “Aku harap
kata-kata Andrea Hirata yang spektakuler itu diucapkan Arai di film ini, tapi
dari tadi nggak muncul-muncul.” Katanya. “Lha ini adegan Arai di pusara Jim
Morisson, bentar lagi dia bacakan puisi buat Zakiah Nurmala !” Ario tutup
kuping. Dia hanya melihat sebal kepadaku yang menirukan Arai membaca puisi. Aku
sampai hapal betul puisi itu. Fade-in fade-out berikutnya menjenuhkan. Di
bagian akhir film, kata-kata itu muncul
juga. Kata-kata yang sering kami ucapkan bersama sejak SMA. Kata-kata yang
begitu menggetarkan hati kami:
Malam itu kami pulang menerobos
hujan dan jalanan sepi yang katanya banyak bromocorah pembegal motor dan tidak
segan untuk membunuh korbannya. mengambil. Sepanjang jalan hanya motor yang
ditunggangi kami yang melintasi jalan itu. Tapi kami tak acuh, terlalu terkesan
dengan pengalaman di bioskop tadi. Sepanjang jalan kami mengulang-ulang dialog
apa saja dari film itu yang kami ingat. Sampai di Jatibarang kami tutup malam dengan memakan nasi goreng di pinggir jalan
Ahmad Yani. Seperti biasa, setelah makan Ario sendawa di hadapan wajahku. Ooooooooooooghh.. Busuk ! Idiot !
Sinting !
Purwokerto,
28 Desember 2013.
20.15
WIB
Dalam
Kost sambil memandangi bungkus berondong jagung XXI
0 comments:
Posting Komentar