Blogroll

Emak dan Sandal Baru (sebuah cerita pendek FTS)

Desember 29, 2013 |



Purwokerto, 7 Agustus 2013

Hanya petak berukuran tiga kali dua setengah meter. Itu pun berdiri diatas tanggul sungai Cimanuk, jelas bukan tanah sendiri. Aku kadang menyangsikan harus bernyaman ria dalam kamar kost yang bertembok dan berkeramik. Hujan turun deras di Terminal Purwokerto. Gelegar-gelegar terdengar keras mengalahkan deru mesin mobil yang baru saja dinyalakan. Aku disudutkan oleh rasa yang berkecamuk dalam dada. Sebuah nada simpatik datang dari dalam jiwa, menggelayuti relung-relung kosong itu. Adakah hal yang lebih buruk daripada lari dari kenyataan ? Jika ada, akulah adanya.

Keputusan emak kadang terkesan semau sendiri. Kiranya lebih baik dari bapak yang gemar tak acuh. Emak menawar bekas warung di tanggul kali dengan raut yang mengharap simpatik kepada bibi. Tapi bibi yang masih saudara itu tetap kasih harga tinggi. Dia hanya beri kebijakan agar emak melunasinya dengan diangsur. Tentu emak biasa dengan sukurnya. Emak pulang lantas menyuruh bapak untuk mengemasi barang-barang. Bapak tetap dengan dengkurnya. Aku masih sembunyi dibalik bantal ketika emak membangunkan bapak  dengan bentakkan dahsyat. Emak menghampiriku. Kemudian berkata lirih,

“sebenarnya emak sudah capek. “

Aku masih rikuh dengan keadaan ini. Ingin rasanya memarahi Tuhan yang telah demikian hebat memberikan persoalan. Kudengar emak mulai terisak. Aku pun demikian. Rasanya mimpi yang telah dibangun selama satu semester runtuh tak berbekas. Kuliah tidak lagi ada harganya. Harapan itu hanya sekecil debu. Aku ingin sekali membawa mereka lari sejauh-jauhnya dari kehidupan yang pelik ini. Aku keluar dari persembunyian dengan katup mata yang bengkak.

            “Baiknya aku berhenti kuliah saja, mak ! Biar bisa kerja dan segera dapat uang banyak ! Aku juga capek. Memangnya kuliah gampang ?! Apalagi dengan pikiran yang terus-terusan dibebani masalah rumah yang tidak habis-habis !” Jawabku berusaha terkesan tegas. Tapi pelupuk mata yang hendak membuncahkan setampung air mata itu tidak terbantahkan. Kemudian hanya detik-detik kosong dalam diam. Emak menggeser duduknya, membalik badan, dan membelakangiku. Setelahnya hanya tangis yang berat. Tangis paling berat yang pernah kudengar. Parunya seperti tercekat, terlihat jelas dari garis-garis tulang rusuk yang tergambar pada baju lusuh itu. Aku seperti tersambar rasa bersalah yang teramat. Emak dengan terisak dan terbata-bata menanggapi permintaanku tadi,

            “kamu harapan emak satu-satunya. Maafkan emak kalau keadaan ini menyusahkanmu, mengacaukan pikiranmu. Emak tidak bermaksud melibatkanmu dalam keadaan seperti ini. Emak minta maaf, nak.”

Tangisnya terhenti. Hanya gerak pundaknya saja yang berbicara kalau tangis emak sudah tidak bisa lagi dikatakan mewakili kepiluan. Aku masih dikuasai amarah. Seolah yang patut dipersalahkan dari semua ini adalah emak.

“Mak. Kita mau buang hajat dimana kalau tinggal di gubug itu ?”

Emak terdiam.

“Kita mau sehina apa tinggal disana ? Bahkan kandang kerbau masih lebih bagus dari gubug itu !”

Emak menatapku. Matanya berkaca-kaca. Tidak menyangka akan didengarnya kata-kata yang menyakitkan hatinya itu. Amarahku berkurang saat melihat kening emak mengernyit, kedua lapis bibirnya saling pagut, dan air mata itu kembali meleleh.

“Emak tidak mau gara-gara emak masa depan kamu jadi berantakan. Nita nanti emak titipkan sama Uwa. Kamu belajar yang rajin di Purwokerto. Biar emak saja yang tinggal di gubug itu. Maafkan emak sudah menyusahkan kamu sejauh ini.”

Ragaku seperti dihantam panas batu-batu kalsit, meleleh tak berbekas. Merasa kehadiranku di dunia ini tidak lebih dari sampah. Seketika memori-memori masa lalu terbayang kembali.

Betapa pedihnya ketika ditinggal emak bekerja di negeri nun jauh. Ketika itu aku kelas satu SMP. Aku dititipkan di rumah saudara bapak. Adik ku di Jakarta dengan Uwa. Sedangkan kakak ku entah dimana, begitu juga dengan bapak. Hari itu malam lebaran. Semua orang sibuk dengan kegembiraan masing-masing; kedatangan sanak famili, menyalakan kembang api, menyantap makanan khas lebaran, dan menjajal pakaian baru. Sedangkan aku tersudut di ruang belakang. Bau kamar mandi menyerukan nasibku yang sengak. Aku ingat dua tahun lalu masih bisa melihat senyum Nita yang girang dibelikan emak sandal baru. Sandal itu masih kusimpan di lemari pakaian. Kuambil sandal itu, sisi-sisinya sudah bopeng, apitnya sudah putus. Kupandangi  sandal Nita. Aku rindu sekali dengan emak dan Nita. Suara takbir membuat hati demikian lirih, membawaku dalam ratap yang tak terperi. Suara uwa Wasturi membuyarkan lamunanku. Aku segera mengusap pipi ku yang dibasahi air mata.

“Nak. Bantu-bantu sedikit uwa kerja ! Jangan enak makannya saja !”

“Sebentar, wa. Dari pagi saya belum istirahat.”

“Baru disuruh angkut-angkut kayu sedikit sudah punya alasan ! Kamu pikir tinggal disini bisa sepenak wudelmu ?”

“Baik, wa. Maaf.”

            Saat baru lulus SD dulu. Aku marah besar ketika emak menggadaikan televisi 14 inci, satu-satunya benda berharga di rumah kontrakan kami. Nita yang masih berumur tiga tahun hanya ikut menangis ketika sumber hiburan satu-satunya itu tidak ada lagi di dalam rumahnya. Aku juga masih belum bisa mengerti maksud emak berlaku demikian. Namun perkataannya di sudut selasar sekolah SMP Negeri Jatibarang seminggu setelah kajadian itu, sangat membekas sekali dalam ingatanku,

            “Kamu diterima di sekolah negeri nak. Bismillah. Kamu pasti bisa sekolah duwur. Sebagai hadiah nanti emak belikan sandal baru di Pasar Rebo.”

Aku akhirnya lulus SMP. Kemudian lanjut SMA berkat emak yang berjuang mati-matian di rantau orang. Aku semakin menyadari peran emak. Sejak saat itu tidak ada lagi alasan untuk mengecewakan beliau. Aku turut berusaha walau tidak sebanding dengan usaha emak, sedikitnya bisa meringankan beban. Aku lulus SMA dan berkesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi melalui program beasiswa pemerintah. Satu-satunya hal yang membuatku segan terhadap pemerintah adalah program beasiswa ini. Selebihnya tidak. Mengapa demikian ? Nanti aku ceritakan.

            Aku menghampiri emak yang masih dengan kepedihannya. Aku merasa sangat bersalah. Aku peluk beliau dengan ratapan memohon maaf. Emak menangis dan menguatkanku. Padahal seharunya posisi emak lah yang butuh untuk dikuatkan. Anak macam apa aku ini ?

            “Kamu harapan emak. Harapan Nita. Jangan ada niatan lagi ya buat berhenti kuliah ? Maafkan emak, nak.”

Aku hanya bisa memeluknya dengan erat. Nita datang bergabung dengan kesedihan yang larut ini. Tidak. Ini tidak patut disebut kesedihan. Aku seperti tersulut oleh rasa yang lain. Bapak kemudian bangun dari tidurnya dan dengan sigap mengemasi barang-barang. Kami lantas pindah dari rumah kontrakan itu menuju gubug terpencil disudut tanggul sungai Cimanuk.

            Aku hanya tersenyum melihat Nita yang sangat bersemangat merapihkan barang-barang di rumah barunya yang berukuran tiga kali dua setengah meter ini. Emak menyiapkan makan. Bapak sedang membetulkan genting yang hendak lepas dari sanggahannya.  Aku membaca koran terbitan dua hari yang lalu, dipenuhi dengan berita korupsi, kebohongan publik terhadap citra seorang tokoh, dan kemiskinan yang melanda di perbatasan negeri. Ironis sekali.  Pak Kades kebetulan melintas dengan motor dinasnya, lantas menghampiri kami.

            “Wah warga saya balik maning kemari. Tenang saja, tinggal lah disini untuk beberapa tahun selama belum ada program perbaikan tanggul.” Aku menjawab keramahan beliau, “terimakasih Pak Kades.” Dia hanya tersenyum dan menyambung, “pak Narto, kalau butuh terpal bekas ambil saja di gubung Mang Dimplong. Nanti biar saya yang ngomong sama dia, dan  biar dia saya belikan yang baru.” Bapak tidak menanggapi. Suara tawa Pak Kades pecah disusul deru motornya yang meraung-raung. Motornya memasuki halaman rumah, sekitar 15 meter dari rumahku. Yang aku tahu disitu tempat bandar judi mesin. Aku jelas kecewa dengan perkataan Pak Kades barusan. Kenapa yang baru tidak dikasihkan saja sama kami, dan tidak perlu menyuruh kami untuk mencuri barang milik orang ?! Kataku dalam hati. Memang demikian kalau Kades yang nongkrongnya di tempat bar-bar. Dendam mulai membatu.

            Setelah rumah beres, aku meminta ijin untuk menghadiri audiensi dengan Bupati di pendopo pusat kota. Kusarankan agar emak menulis curahan hatinya sebagai aspirasi untuk sang Bupati. Emak lantas membuat sepucuk surat. Audiensi diisi dengan isu-isu politis yang bikin aku muak. Terlihat sekali Bupati yang didampingi suaminya itu mengada-ngada. Entahlah, itu hanya pandanganku terhadap mereka. Audiansi ditutup dengan kampanye. Kampanye hitam tepatnya. Surat emak memang ditanggapi, tapi sampai detik ini kata “di-tindak-lanjuti” seperti berjelaga dalam bangsal arsip yang berdebu. Satu lagi rasa ketidak-percayaanku terhadap seorang pemimpin terbukti dan tertegaskan. Dendam yang membatu lalu turun ke dasar hati.

             Malam pertama di gubung tanpa cahaya lampu. Hanya lilin dan riuh nyamuk-nyamuk ramai membicarakan keburukan nasib kami. Aku acuh dengan mereka. Aku tidak bisa tidur. Dari kegelapan ujung utara gang, datang seorang mantan perwira berpangkat menghampiriku. Aku tidak begitu kenal, tapi sering lihat beliau. Berbeda sekali ketika dulu aku melihatnya segar bugar. Dulu, menyapa pun tidak, aku hanya tahu beliau adalah perwira berpangkat. Sekarang seluruh rambutnya hampir memutih. Dia berjalan agak invalid, bibirnya menyon, jelas mencirikan orang terkena strooke. Dia duduk disampingku dan mulai bercerita panjang lebar. Mulai saat dulu pengalamannya sebagai komandan tertinggi di resimen mahasiswa hingga terkucilkan sesaat setelah terkena strooke. Aksennya yang keluar dari getaran lidah dan mulut yang terpelintir itu butuh waktu untuk bisa dipahami.

            “Dulu. Aku ini disegani. Makan daging anjing tiap malam sebelum tembak mati bromocorah di toang-toang jalan.”

Dia bercerita sampai adzan subuh berkumandang. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Beliau sahabat baruku disini untuk memetaforakan sejenak pahit kenyataan. Banyak pelajaran yang aku dapat dari cerita-ceritanya.

            Indramayu, 7 Agustus 2013

Bus melaju dengan perlahan. Aku sampai. Terlihat jelas bias lampu-lampu kuning jalan yang mengerucut. Gema takbir mengudara di setiap pori atmosfer Indramayu. Kembang api menyala-nyala menerangi langit. Konstelasi-konstelasi bintang demikian riang membicarakan malam yang besar menjelang Idul Fietri. Aku terkagum-kagum dari atas becak melihat arak-arakan. Ribuan masyarakat tumpah ruah memenuhi jalan sisi barat sungai Sindupraja. Becak memasuki gang Prakawayat. Diujung gang sana, gubug kecil terlihat hiruk-pikuk dengan cahaya lampu dan segala rupa jajanan warung. Emak terlihat sibuk melayani pembeli. Nita sedang menyalakan mercon dengan Djovan, anak kakak ku. Bapak mondar-mandir, agaknya menjinjing beras fitrah, langkahnya menuju pesantren Al-Fauzi. Aku putuskan untuk turun dari becak. Sang perwira berpangkat yang biasa aku panggil “Ayah” terlihat keluar dari markasnya dan menghampiriku.

“Jagoan ! Gimana IPK semester ini ?” Aksennya masih sama, tidak jelas. Tapi aku paham.

“Lapor komandan ! IPK semester ini aman !” Jawabku sambil memperlihatkan sikap sempurna, kemudian hormat. Kami lantas tertawa terbahak-bahak.

Aku teruskan langkah menuju rumah. Betapa emak telah membawaku sedemikian jauh. Menyisipkan ketegaran dalam diriku untuk melewati krisis demi krisis hidup ini. Membuatku mampu melihat kedamaian dalam segala keterbatasan. Membuatku yakin bahwa roda nasib memang berputar. Nita dengan girangnya menghampiriku. Bapak tersenyum melihatku. Kakak ku mencoba menangkap Djovan yang dengan lincahnya berlari menghampiriku. Ibuku segera menuju serambi rumah dengan mata yang berkaca-kaca, kemudian suara seraknya terdengar keras,

“nak, emak sudah belikan kamu sandal baru !”


Purwokerto, 22 Desember 2013
03.00 WIB
Selamat Hari Ibu

0 comments:

Posting Komentar