Purwokerto, 7 Agustus
2013
Hanya
petak berukuran tiga kali dua setengah meter. Itu pun berdiri diatas tanggul
sungai Cimanuk, jelas bukan tanah sendiri. Aku kadang menyangsikan harus
bernyaman ria dalam kamar kost yang bertembok dan berkeramik. Hujan turun deras
di Terminal Purwokerto. Gelegar-gelegar terdengar keras mengalahkan deru mesin
mobil yang baru saja dinyalakan. Aku disudutkan oleh rasa yang berkecamuk dalam
dada. Sebuah nada simpatik datang dari dalam jiwa, menggelayuti relung-relung
kosong itu. Adakah hal yang lebih buruk daripada lari dari kenyataan ? Jika
ada, akulah adanya.
Keputusan
emak kadang terkesan semau sendiri. Kiranya lebih baik dari bapak yang gemar tak
acuh. Emak menawar bekas warung di tanggul kali dengan raut yang mengharap
simpatik kepada bibi. Tapi bibi yang masih saudara itu tetap kasih harga
tinggi. Dia hanya beri kebijakan agar emak melunasinya dengan diangsur. Tentu
emak biasa dengan sukurnya. Emak pulang lantas menyuruh bapak untuk mengemasi
barang-barang. Bapak tetap dengan dengkurnya. Aku masih sembunyi dibalik bantal
ketika emak membangunkan bapak dengan
bentakkan dahsyat. Emak menghampiriku. Kemudian berkata lirih,
“sebenarnya
emak sudah capek. “
Aku masih rikuh dengan
keadaan ini. Ingin rasanya memarahi Tuhan yang telah demikian hebat memberikan
persoalan. Kudengar emak mulai terisak. Aku pun demikian. Rasanya mimpi yang
telah dibangun selama satu semester runtuh tak berbekas. Kuliah tidak lagi ada
harganya. Harapan itu hanya sekecil debu. Aku ingin sekali membawa mereka lari
sejauh-jauhnya dari kehidupan yang pelik ini. Aku keluar dari persembunyian
dengan katup mata yang bengkak.
“Baiknya aku berhenti kuliah saja, mak ! Biar bisa kerja
dan segera dapat uang banyak ! Aku juga capek. Memangnya kuliah gampang ?! Apalagi
dengan pikiran yang terus-terusan dibebani masalah rumah yang tidak habis-habis
!” Jawabku berusaha
terkesan tegas. Tapi pelupuk mata yang hendak membuncahkan setampung air mata
itu tidak terbantahkan. Kemudian hanya detik-detik kosong dalam diam. Emak
menggeser duduknya, membalik badan, dan membelakangiku. Setelahnya hanya tangis
yang berat. Tangis paling berat yang pernah kudengar. Parunya seperti tercekat,
terlihat jelas dari garis-garis tulang rusuk yang tergambar pada baju lusuh
itu. Aku seperti tersambar rasa bersalah yang teramat. Emak dengan terisak dan
terbata-bata menanggapi permintaanku tadi,
“kamu harapan emak satu-satunya. Maafkan emak kalau
keadaan ini menyusahkanmu, mengacaukan pikiranmu. Emak tidak bermaksud
melibatkanmu dalam keadaan seperti ini. Emak minta maaf, nak.”
Tangisnya terhenti.
Hanya gerak pundaknya saja yang berbicara kalau tangis emak sudah tidak bisa
lagi dikatakan mewakili kepiluan. Aku masih dikuasai amarah. Seolah yang patut
dipersalahkan dari semua ini adalah emak.
“Mak. Kita mau buang
hajat dimana kalau tinggal di gubug itu ?”
Emak terdiam.
“Kita mau sehina apa
tinggal disana ? Bahkan kandang kerbau masih lebih bagus dari gubug itu !”
Emak menatapku. Matanya
berkaca-kaca. Tidak menyangka akan didengarnya kata-kata yang menyakitkan
hatinya itu. Amarahku berkurang saat melihat kening emak mengernyit, kedua
lapis bibirnya saling pagut, dan air mata itu kembali meleleh.
“Emak tidak mau
gara-gara emak masa depan kamu jadi berantakan. Nita nanti emak titipkan sama
Uwa. Kamu belajar yang rajin di Purwokerto. Biar emak saja yang tinggal di
gubug itu. Maafkan emak sudah menyusahkan kamu sejauh ini.”
Ragaku seperti dihantam
panas batu-batu kalsit, meleleh tak berbekas. Merasa kehadiranku di dunia ini
tidak lebih dari sampah. Seketika memori-memori masa lalu terbayang kembali.
Betapa
pedihnya ketika ditinggal emak bekerja di negeri nun jauh. Ketika itu aku kelas
satu SMP. Aku dititipkan di rumah saudara bapak. Adik ku di Jakarta dengan Uwa.
Sedangkan kakak ku entah dimana, begitu juga dengan bapak. Hari itu malam
lebaran. Semua orang sibuk dengan kegembiraan masing-masing; kedatangan sanak
famili, menyalakan kembang api, menyantap makanan khas lebaran, dan menjajal
pakaian baru. Sedangkan aku tersudut di ruang belakang. Bau kamar mandi
menyerukan nasibku yang sengak. Aku ingat dua tahun lalu masih bisa melihat
senyum Nita yang girang dibelikan emak sandal baru. Sandal itu masih kusimpan
di lemari pakaian. Kuambil sandal itu, sisi-sisinya sudah bopeng, apitnya sudah
putus. Kupandangi sandal Nita. Aku rindu
sekali dengan emak dan Nita. Suara takbir membuat hati demikian lirih, membawaku
dalam ratap yang tak terperi. Suara uwa Wasturi membuyarkan lamunanku. Aku
segera mengusap pipi ku yang dibasahi air mata.
“Nak.
Bantu-bantu sedikit uwa kerja ! Jangan enak makannya saja !”
“Sebentar,
wa. Dari pagi saya belum istirahat.”
“Baru
disuruh angkut-angkut kayu sedikit sudah punya alasan ! Kamu pikir tinggal
disini bisa sepenak wudelmu ?”
“Baik,
wa. Maaf.”
Saat baru lulus SD dulu. Aku marah besar ketika emak
menggadaikan televisi 14 inci, satu-satunya benda berharga di rumah kontrakan kami.
Nita yang masih berumur tiga tahun hanya ikut menangis ketika sumber hiburan
satu-satunya itu tidak ada lagi di dalam rumahnya. Aku juga masih belum bisa
mengerti maksud emak berlaku demikian. Namun perkataannya di sudut selasar
sekolah SMP Negeri Jatibarang seminggu setelah kajadian itu, sangat membekas
sekali dalam ingatanku,
“Kamu diterima di sekolah negeri nak. Bismillah. Kamu
pasti bisa sekolah duwur. Sebagai hadiah nanti emak belikan sandal baru di
Pasar Rebo.”
Aku
akhirnya lulus SMP. Kemudian lanjut SMA berkat emak yang berjuang mati-matian
di rantau orang. Aku semakin menyadari peran emak. Sejak saat itu tidak ada
lagi alasan untuk mengecewakan beliau. Aku turut berusaha walau tidak sebanding
dengan usaha emak, sedikitnya bisa meringankan beban. Aku lulus SMA dan
berkesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi melalui program
beasiswa pemerintah. Satu-satunya hal yang membuatku segan terhadap pemerintah
adalah program beasiswa ini. Selebihnya tidak. Mengapa demikian ? Nanti aku ceritakan.
Aku menghampiri emak yang masih dengan kepedihannya. Aku
merasa sangat bersalah. Aku peluk beliau dengan ratapan memohon maaf. Emak
menangis dan menguatkanku. Padahal seharunya posisi emak lah yang butuh untuk
dikuatkan. Anak macam apa aku ini ?
“Kamu harapan emak. Harapan Nita. Jangan ada niatan lagi
ya buat berhenti kuliah ? Maafkan emak, nak.”
Aku hanya bisa
memeluknya dengan erat. Nita datang bergabung dengan kesedihan yang larut ini.
Tidak. Ini tidak patut disebut kesedihan. Aku seperti tersulut oleh rasa yang
lain. Bapak kemudian bangun dari tidurnya dan dengan sigap mengemasi
barang-barang. Kami lantas pindah dari rumah kontrakan itu menuju gubug
terpencil disudut tanggul sungai Cimanuk.
Aku hanya tersenyum melihat Nita yang sangat bersemangat
merapihkan barang-barang di rumah barunya yang berukuran tiga kali dua setengah
meter ini. Emak menyiapkan makan. Bapak sedang membetulkan genting yang hendak lepas
dari sanggahannya. Aku membaca koran
terbitan dua hari yang lalu, dipenuhi dengan berita korupsi, kebohongan publik
terhadap citra seorang tokoh, dan kemiskinan yang melanda di perbatasan negeri.
Ironis sekali. Pak Kades kebetulan
melintas dengan motor dinasnya, lantas menghampiri kami.
“Wah warga saya balik maning kemari. Tenang saja, tinggal
lah disini untuk beberapa tahun selama belum ada program perbaikan tanggul.”
Aku menjawab keramahan beliau, “terimakasih Pak Kades.” Dia hanya tersenyum dan
menyambung, “pak Narto, kalau butuh terpal bekas ambil saja di gubung Mang
Dimplong. Nanti biar saya yang ngomong sama dia, dan biar dia saya belikan yang baru.” Bapak tidak
menanggapi. Suara tawa Pak Kades pecah disusul deru motornya yang
meraung-raung. Motornya memasuki halaman rumah, sekitar 15 meter dari rumahku.
Yang aku tahu disitu tempat bandar judi mesin. Aku jelas kecewa dengan
perkataan Pak Kades barusan. Kenapa yang
baru tidak dikasihkan saja sama kami, dan tidak perlu menyuruh kami untuk mencuri
barang milik orang ?! Kataku dalam hati. Memang demikian kalau Kades yang
nongkrongnya di tempat bar-bar. Dendam mulai membatu.
Setelah rumah beres, aku meminta ijin untuk menghadiri
audiensi dengan Bupati di pendopo pusat kota. Kusarankan agar emak menulis
curahan hatinya sebagai aspirasi untuk sang Bupati. Emak lantas membuat sepucuk
surat. Audiensi diisi dengan isu-isu politis yang bikin aku muak. Terlihat
sekali Bupati yang didampingi suaminya itu mengada-ngada. Entahlah, itu hanya
pandanganku terhadap mereka. Audiansi ditutup dengan kampanye. Kampanye hitam
tepatnya. Surat emak memang ditanggapi, tapi sampai detik ini kata
“di-tindak-lanjuti” seperti berjelaga dalam bangsal arsip yang berdebu. Satu
lagi rasa ketidak-percayaanku terhadap seorang pemimpin terbukti dan
tertegaskan. Dendam yang membatu lalu turun ke dasar hati.
Malam pertama di
gubung tanpa cahaya lampu. Hanya lilin dan riuh nyamuk-nyamuk ramai
membicarakan keburukan nasib kami. Aku acuh dengan mereka. Aku tidak bisa
tidur. Dari kegelapan ujung utara gang, datang seorang mantan perwira
berpangkat menghampiriku. Aku tidak begitu kenal, tapi sering lihat beliau. Berbeda
sekali ketika dulu aku melihatnya segar bugar. Dulu, menyapa pun tidak, aku
hanya tahu beliau adalah perwira berpangkat. Sekarang seluruh rambutnya hampir
memutih. Dia berjalan agak invalid, bibirnya menyon, jelas mencirikan orang
terkena strooke. Dia duduk disampingku dan mulai bercerita panjang lebar. Mulai
saat dulu pengalamannya sebagai komandan tertinggi di resimen mahasiswa hingga
terkucilkan sesaat setelah terkena strooke. Aksennya yang keluar dari getaran
lidah dan mulut yang terpelintir itu butuh waktu untuk bisa dipahami.
“Dulu. Aku ini disegani. Makan daging anjing tiap malam
sebelum tembak mati bromocorah di toang-toang jalan.”
Dia bercerita sampai
adzan subuh berkumandang. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Beliau
sahabat baruku disini untuk memetaforakan sejenak pahit kenyataan. Banyak
pelajaran yang aku dapat dari cerita-ceritanya.
Indramayu,
7 Agustus 2013
Bus
melaju dengan perlahan. Aku sampai. Terlihat jelas bias lampu-lampu kuning
jalan yang mengerucut. Gema takbir mengudara di setiap pori atmosfer Indramayu.
Kembang api menyala-nyala menerangi langit. Konstelasi-konstelasi bintang
demikian riang membicarakan malam yang besar menjelang Idul Fietri. Aku terkagum-kagum
dari atas becak melihat arak-arakan. Ribuan masyarakat tumpah ruah memenuhi
jalan sisi barat sungai Sindupraja. Becak memasuki gang Prakawayat. Diujung
gang sana, gubug kecil terlihat hiruk-pikuk dengan cahaya lampu dan segala rupa
jajanan warung. Emak terlihat sibuk melayani pembeli. Nita sedang menyalakan
mercon dengan Djovan, anak kakak ku. Bapak mondar-mandir, agaknya menjinjing
beras fitrah, langkahnya menuju pesantren Al-Fauzi. Aku putuskan untuk turun
dari becak. Sang perwira berpangkat yang biasa aku panggil “Ayah” terlihat
keluar dari markasnya dan menghampiriku.
“Jagoan
! Gimana IPK semester ini ?” Aksennya masih sama, tidak jelas. Tapi aku paham.
“Lapor
komandan ! IPK semester ini aman !” Jawabku sambil memperlihatkan sikap
sempurna, kemudian hormat. Kami lantas tertawa terbahak-bahak.
Aku
teruskan langkah menuju rumah. Betapa emak telah membawaku sedemikian jauh.
Menyisipkan ketegaran dalam diriku untuk melewati krisis demi krisis hidup ini.
Membuatku mampu melihat kedamaian dalam segala keterbatasan. Membuatku yakin
bahwa roda nasib memang berputar. Nita dengan girangnya menghampiriku. Bapak
tersenyum melihatku. Kakak ku mencoba menangkap Djovan yang dengan lincahnya
berlari menghampiriku. Ibuku segera menuju serambi rumah dengan mata yang
berkaca-kaca, kemudian suara seraknya terdengar keras,
“nak,
emak sudah belikan kamu sandal baru !”
Purwokerto,
22 Desember 2013
03.00
WIB
Selamat
Hari Ibu
0 comments:
Posting Komentar