Blogroll

Jenuh (sebuah cerita pendek)

Desember 29, 2013 |


Hati yang menggebu menjadikan tubuhku tuli akan teriakan resiko. Ford Sierra RS Cosworth/XR4Ti menerobos ramai ibu kota, membuat gedung-gedung congkak itu terbatuk iri, lembut suaranya mesinnya membuat cemburu sirine mobil patroli, terseok-seok, hampir menabrak polisi, bahkan  banyak  pasang mata sangat bernafsu lantas memaki, aku tak perduli. Yang aku tahu, aku merindunya setengah mati.

“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.. Priiitt..” Bunyi pluit polisi menghardik dari luar. Aku tak acuh, tertanya dalam hati, apa polisi  terdidik untuk tidak memahami orang-orang gila macam diriku yang hidupnya selalu dihantui bayang-bayang rindu ? Apakah mereka tidak paham betapa berat hubungan jarak jauh ? Aih, siapa perduli ? Bodoh aku ini. Benar-benar melawan arus. Arus jalan raya. Pantas saja pluit itu menghardik, hampir aku menabraknya. Bangsat.

Setelah tawar-menawar dengan polisi, lantas segera aku tancap gas lagi. Masih ada waktu lima belas menit untuk tepat waktu. Ah, gila ! Semakin aku ngebut, semakin dekat dengan tempat dimana kau menanti, semakin itu pula aku merasa bahwa saat jumpa, meski hanya sekejap,  lunas sudah penderitaan, tiada perduli apa pun penghalang, aku ingin menatapmu puas-puas.
                                                                                                ***

Dulu. Sulit sekali menjadi diri sendiri. Bukan orang lain atau  wajah kemunafikan yang tersemati topeng jaman. Ataukah diriku saja yang tolol, tidak bisa menyikapi waktu ? Lalu apa gunanya menunggu waktu ?  Waktu yang kejam perangainya telah menyergap, mengepung, dan memenjarakan sebuah jawaban yang belum aku bisa pahami itu. Yang aku tahu, meninggalkanmu adalah kebodohan. Dan menunggumu, adalah usang, adalah kering, adalah hampa, adalah sendiri: waktu telah menggerogoti tulus arti untuk mengakui bahwa terbaik itu adalah dirimu.

Terlalu ikut campur. Lihat saja, wajah-wajah kriminal itu, bola mata dan lidahnya tajam, menari kanan-kiri, mencari mangsa untuk mereka hunus sampai ke dasar hati. Kalau saja bukan kaum yang sudi menaruh nyawa bagi kelahiran anaknya, ingin aku memenjarakan kelaliman kata-katanya itu. Setiap tindak tanduk diriku selalu saja mereka pantau. Jujur, itu membuat kepercayaan diriku anjlok. Dasar tukang gosip.

  Aku melangkah melewati mereka. Sorot matanya tajam mengamati. Dan kasak-kusuk sialan itu harus menjamah telingaku,

    “Heh, si kere kabarnya naksir anak Ibu Guru.”

    “Hus, orangnya lewat.”

    “Harusnya dia ngaca.”

    “Gadis secantik Fietri mana mau ?”

            Tak hirau langkah mencoba. Urus saja urusan sendiri, pikirku. Tapi tetap saja, ada opsi lain, mungkin urusan mereka adalah mencampuri urusanku atau bahkan perduli ?  Teguh pada pendirian saat itu terasa sulit. Aku termakan kasak-kusuk sialan itu. Kepercayaan diriku anjlok akibat menerjemah terlalu jauh. Sejurus aku ciut, merasa diriku tak layak. Betapa susahnya menjadi diri sendiri. Eh, apa aku saja yang terlalu percaya diri ? Tempe bongkrek, semua kemungkinan itu racun. Tahik. Aku bosan mendengarnya.

                                                        ***
     Aku mengerti bukan karena diam. Bergerak searah bahkan melawan arus bagiku itulah proses mengerti. Proses menepis rumit kedewasaan. Ketika kau menatapku, ada getar rindu membelenggu. Ya, lewat matamu tertepislah keraguan terhadap bengis waktu. Aku merunduk malu, kepada diri sendiri dan dirimu. Kau boleh sebut aku brengsek, bajingan, atau apalah. Hanya saja, aku berharap, kau pun bisa rasakan getar itu melalui mataku. Melihat kesungguhanku menepis sampah-sampah busuk di beranda hidung. Aku telah melawan arus untukmu. Lalu, kemana aku harus meluapkan kegundahan ini kalau bukan pada dirimu ?

     Tiba di tempat dimana kau berada. Aku melangkah perlahan mendekatimu. Aku tak kuasa melihat, segala yang ada pada dirimu membuatku gugup. Aku terhenti, binar matamu menamparku, betapa kau pun menyimpan beban yang sama. Tapi aku gugup samasekali. Kau simpulkan sedikit senyum, bunga-bunga rindu itu berterbangan di depan mataku. Aku gemetar. Aku gagap. Keringat dingin membuncah. Masih seperti dulu saat pertama bertemu.

     Selama ini kau yang membuatku yakin pada diriku sendiri. Menepis segala keraguan yang ada. Kau isi sedikit demi sedikit keyakinan dalam diriku, hingga sekat-sekat rasa itu tiada lagi kosong. Aku sangat mencintaimu, dengan segala kelemahan dan kekuranganku. Aku tak perduli. Aku merasa perduli denganmu, merasa ada sesuatu yang harus aku korbankan untukmu, sekalipun itu besar, aku tak perduli. Lihat, ini janjiku padamu dulu, aku sudah mapan, siap membawamu pada kebahagian, buah dari ketulusan cinta yang selama ini ku pertahankan. Harapan dan mimpi yang dulu pernah kita rangkai bersama, selangkah lagi akan terwujud. Kau ingin itu kan, sayang ? Ayolah, mendekat padaku, ini tidak semu.

     Kau rengkuh diriku dengan rindu yang menggebu. Matamu berkaca-kaca. Tolonglah, jangan buat aku bingung. Betapa kepedihan terlihat jelas padamu. Aku kikuk, gugup, entah apa yang harus diperbuat. Kerinduannya itu sangat dalam kurasakan. Tumpahkan. Tumpahkan saja bila itu membuatmu sedikit merasa lega. Jika kata-kata bukanlah solusi, menangislah. Tapi, aku samasekali tak sanggup melihat air matamu, sungguh.

     Dia menatap dalam padaku. Seperti hendak ingin mengatakan sesuatu namun sulit. Dia memalingkan diri pada ketenangan sudut kota yang seolah terkamuflase oleh gerak yang melamban, lalu diam membeku. Hanya ada aku dan dirimu. Dengan terbata, sambil terisak, dia berkata,

“Aku merasa dikucilkan seperti kau merasa terkucilkan. Siapa lagi kalau bukan oleh tetanggaku sendiri. Tapi ini memang sangat patut. Aku ingin mati saja. Gaza, kemana saja dirimu ? Kalimantan bukan tempat sulit sekedar mengirim surat.”

            Aku masih tak paham dengan apa yang ia katakan. Aku hanya terdiam. Pikiranku menembus dimensi relung-relung keasadaran, mencerna semua kalimatnya, menginterpretasi pada suatu hipotesis yang sama: dia merindukanku, bahkan setia menunggu.

   “Aku lelah. Sangat lelah, Gaza. Menunggu itu pahit sekali rasanya.” Sambungnya masih dengan nada terbata. “Aku tak mengerti.” Jawabku. Dan petir tiba-tiba menyambar, tangisnya meledak,



“Aku hamil ! Aku sudah menikah ! Puas, hah ?!”



0 comments:

Posting Komentar