“Bukan. Itu bukan, Bapak !” Tegas Tangguh kepada adiknya. Mereka lantas berlari menerobos keramaian itu. Salah seorang dalam keadaan babak belur. Pemandangan tragis itu harus disimpan dalam benak seorang anak seusia Tangguh dan Senja. Langkah-langkah mereka adalah kegetiran yang merindu ketenangan, sebab terik matahari sepertinya telah meluapkan mimpi-mimpi dan harapan. Namun siapa perduli ?
***
Aku kadang terkagum-kagum, betapa pesatnya kota ini berkembang. Gedung-gedung tinggi, mobil-mobil bagus, dan segala kemewahan-kemewahan lain. Kesenangan-kesenangan dan mimpi-mimpi bertumpu disini. Kadang kota ini juga terlihat seperti kandang macan yang siap mengintimidasi siapa saja yang memasukinya. Aku Gaza. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Komunikasi, program studi perfilman dan broadcasting di salah satu perguruan tinggi swasta cukup terkemuka di kota ini. Beasiswa yang aku peroleh adalah alasan untuk berkata tidak kepada kesempatan yang tersia-siakan; memahami intrik demi intrik kota ini: Jakarta.
Deadline berita mulai buat aku gila. Aku masih mengotak-atik kamera, mengatur komposisi kepekaan lensa dan diafragma. Setahun bergumul dengan pers kampus, mana hasilnya ? Aku menelan ludah. Beritaku selalu dianggap berat, provokatif, tidak menarik. Menurut pahamku, pendapat itu hanya alasan untuk selalu menempatkan pers mahasiswa dalam zona aman dan manja. Apa guna aku bicara begini ? Tidak ada bedanya dengan kentut di remang senja. Kumasukkan kamera kedalam ransel.
Aku dijegal rasa gusar. Menatap diri sendiri dengan penuh tanya adalah hal yang boleh dikatata sia-sia. Kuhadapkan muka di depan cermin wastafel. Kubasuh muka yang lusuh itu. Sejurus kugerakkan kaki menyusur lorong demi lorong kampus tua. Aku muak melihat tembok-tembok yang berjelaga, bicara tentang media-media yang selalu mewartakan sosok gubernur sempurna, buruh-buruh yang selalu tuntut kenaikan upah atau artis-artis bunting yang dicerai suaminya, apalagi drama kasus-kasus korupsi yang tak henti-henti. Sebagai obat sementara, seperti biasa, aku gemar melihat matahari terbenam di salah satu sisi Jakarta.
“Mas, Buto Cakil kata biyung itu sosok raksasa jahat, culas dan licik. Aku ngeri membayangkan sosoknya yang begitu seram itu. Dan katanya dia juga tidak suka monyet, makannya aku pelihara monyet. Biar Buto Cakil tidak berani ganggu biyung lagi. Bahkan bapak bisa cari uang dengan monyet ini.” Tangguh bicara dengan nada dramatis. “Oh, biyungmu suka cerita wayang juga ?” Tanyaku penasaran. Sejurus ia menjawab seperti ingin meloncatkan rasa kagum dari kedua bola matanya yang mendelik, “iyo kak, saat di Solo, biyungku itu sinden ! Sekarang tidak lagi. Kata sepuh, biyung kena tulah Buto Cakil. Dia sering kejang-kejang setelah digigit monyet sepulang mentas.” Aku prihatin mendengarnya. “Oh, mungkin rabies kali ? Sudah diperiksakan ke dokter ?” Tangguh lantas menjawabnya dengan muka lesu, “dokter kak ? kemarin sempat dirujuk ke rumah sakit dengan bekal jaminan kesehatan warga miskin, tapi pihak rumah sakit bilang kamar rawat penuh.” Aku merunduk prihatin, lantas bertanya lagi, “mengapa biyungmu bisa digigit monyet ?”
Aku bertemu Tangguh ketika sedang meliput demonstrasi mahasiswa di bundaran Hotel Indonesia suatu hari. Dia bersama ayah dan adiknya sedang mementaskan topeng monyet di pinggir jalan. Kujadikan mereka sebagai objek liputan hari itu. Sejak saat itu kami menjalin keakraban, terutama dengan Tangguh dan adiknya, Senja. Mereka adalah keluarga baruku selama berada disini. Aku banyak belajar makna hidup dari mereka. Kami biasa menghabiskan waktu sore dengan bercengkerama soal bias matahari yang buru-buru tenggelam dibalik sisi barat gedung-gedung dari atas halte busway bundaran HI.
Tangguh adalah remaja berusia tujuh belas belas tahun yang boleh dikata dewasa. Dia berhenti sekolah sejak kelas tujuh menengah pertama lantaran harus turut mencari uang untuk membiayai ibunya yang sakit-sakitan. Ayahnya adalah pengamen topeng monyet. Ayahnya sedikit mengalami gangguan kejiwaan sejak tahu isterinya sakit-sakitan. Tangguh memiliki seorang adik bernama Senja, usianya tujuh tahun. Senja bernasib sama dengan Tangguh, tidak sekolah. Mereka hidup di Jakarta sejak Tangguh berusia sepuluh tahun. Awalnya, mereka pikir Jakarta adalah tempat paling tepat untuk memperbaiki nasib, tapi ternyata Jakarta tidak semudah mereka menduga.
“Biyungku kenal sama gubernur baru sini mas, yang terkenal itu lho ?” Kata Tangguh sambil menaiki sisi pengaman tangga, “iyo, yang suka blusukan itu. Kata biyung, semasa kecil beliau dijuluki Petruk.” Tangguh mengalihkan pembicaraan. Pertanyaanku entah sengaja atau bagaimana, yang jelas tidak ia jawab. “Oh, begitu ya ? Bagaimana Ibumu bisa kenal Pak Joko..” Belum selesai pertanyaan, Tangguh nyerobot, “yo jelas tho mas, biyung itu sahabatnya. Biyung tahu setelah nonton tipi tetangga, dan pak gubernur juga pernah blusukan di kelurahan kami, Penjagalan.” Kami saling diam seketika, memandang bias lelah matahari di ujung barat. Cahaya jingga merona menari-nari diatas gedung kaca, sampaikan salam rindu yang larat. kemudian Tangguh menyambung, “sayangnya beliau tidak kenal biyung lagi. Beliau itu hebat tho mas ? Tapi aku kurang setuju kalau dia musti jadi orang nomor satu negeri ini.” Muka Tangguh berubah muram.
Kata-kata Tangguh menggema dan memantul pada tiap-tiap gedung yang congkak. Aku menutup hari dengan memotret sesimpul senyum Tangguh yang penuh tanya. “Sampaikan salamku buat bapak dan biyungmu. Semoga Senja lekas sembuh.” Kami berjalan berlawanan arah. Aku terbayang bagaimana sang gubernur berkampanye kemarin dulu dan media-media yang sampai saat ini mencitrakan sosoknya seolah tanpa cacat. Kenapa mesti demikian ? Ternyata orang selugu Tangguh punya pandangan lain tentang kehebatan sosok itu. Sebabnya apa, aku tidak tahu, yang jelas aku satu paham dengannya.
***
Kata Soe Hok Gie, tiada hal lebih puitis selain bicara soal kebenaran. Kebenaran ? Aku meramu artikel dalam perpustakaan. Ada perasaan sesak melihat buku-buku tua yang seolah bicara kerinduan dirinya terhadap tangan-tangan terpelajar itu. Disudut lain kulihat teman-teman sedang asik mengkopi paste tugas dan laporan praktik dari internet. Padahal acapkali kulihat mereka dengan tangkas bersuara soal kebenaran, kemiskinan, atau apalah. Sayang ketangkasan itu mesti tergadai dengan diplomasi-diplomasi jaman yang mengajari kepraktisan, dan harus berjelaga ketika ujian semester. Lalu apa bedanya dengan tokoh-tokoh negeri yang kini bersarang dalam bui ? Aku merasa ada satu hal yang kian lama kian terkikis dan hilang dalam diri semua orang, sehingga loby-loby yang menjamin keberadaan harta, takhta dan wanita, membuat diri tak tahan: kejujuran.
Ironis memang. Ada saja alasan untuk mengeluh dan tidak kuliah karena hujan atau jadwal yang terlalu pagi. Padahal ada pula sosok Tangguh dan Senja, yang melangkahkan kaki subuh hari meskipun langit menurunkan deras hujan. Tidak ada pilihan bagi mereka walau sekedar memperoleh sarapan. Demokrasi memang membaik, mahasiswa-mahasiswa makin berani bicara, tapi dengan dalih omong kosong. Lihat saja keributan-keributan yang kadang merusak fasilitas itu. Rasanya peribahasa diam adalah emas boleh berlaku lagi, tapi bukan dalam konteks stagnan terhadap mekanisasi tubuh.
Aku mulai bosan berada disini dengan terus bertanya-tanya. Aku ingin mencari udara segar. Kulangkahkan kaki keluar dari dalam perpustakaan. Setelah berjalan kaki beberapa jarak, aku naik mikrolet yang penuh sesak dari Slipi Jaya, entah kemana tujuannya ? Memasuki kawasan Pekojan, Jakarta Barat, dari jalan Tubagus Angke terlihat sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Aku turun dari mikrolet, berharap ada objek bagus disana.
Jembatan kambing. Aku pernah dengar soal jembatan kambing dari salah seorang teman. Keberadaan jembatan yang dinamakan Jembatan Kambing ini punya sejarah panjang katanya. Karena kambing-kambing yang didatangkan dari berbagai tempat, sebelum disembelih di pejagalan lebih dulu dilewatkan jembatan Kali Angke yang memisahkan Pekojan dan jalan Tubagus Angke. Hingga kini nama Pejagalan merupakan salah satu kampung di Kelurahan Pekojan.
Jembatan Kambing ini berhadapan dengan Masjid An-Nawir yang dibangun tahun 1760. Pada akhir abad ke-19 masjid ini diperluas oleh Sayid Abdullah Bin Husein Alaydrus, seorang kaya raya yang namanya diabadikan menjadi nama Jalan Alaydrus di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Semasa hidupnya ia ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh saat melawan Belanda.
Ah, aku teringat kata Tangguh kemarin. Rumah keluarganya berada di dekat sini. Aku melihat bangunan-bangunan kumuh berdiri diatas tanggul Kali Angke. Pupil mataku mengecil seketika. Diujung jalan Tubagus Angke teronggok mobil-mobil besar. Beberapa pamongpraja menghancurkan bangunan-bangunan kumuh itu. Beberapa warga menangis pasrah. Aku teringat metode Walter Croncide School of Jurnalist and Telecommunication Arizona State University, metode EDFAT, sebagai pembimbing dalam peliputan yang tepat. Aku ingin mendapat gambar dengan entire, detil, frame, angel dan timming yang bagus terhadap peristiwa disana. Mungkin bisa jadi headline kalau kukirimkan berita ini ke salah satu redaksi surat kabar, mengingat hanya ada beberapa jurnalis saja yang terlihat. Tapi segala teori itu pupus, setelah melihat Tangguh yang menggendong Senja. Disampingnya seorang Ibu yang terlihat renta, dan seorang laki-laki yang menuntun seekor monyet sambil menggendong beberapa perkakas. Mereka berjalan dengan wajah terisak melewati jembatan kambing.
***
Terlalu bengis untuk ini. Kemarin adalah peristiwa memilukan seumur hidup baru kulihat. Kartu tanda penduduk dan berkas-berkas kependudukan lain milik keluarga Tangguh harus hilang dalam peristiwa penggusuran itu. Mereka tidak mendapat kompensasi untuk tinggal di rumah susun yang dijanjikan. Tidak seperti penduduk lain, mereka harus terlempar dan tersudut di kolong jembatan. Mendirikan bangunan seadanya, dan kantong plastik adalah media tanpa pengecualian ketika buang air besar. Perantara Tuhan untuk membuat mereka tetap bertahan hidup adalah seekor monyet. Monyet seolah-olah pengejawantahan nasib mereka. Hari-hari mereka kini dihabiskan dengan mengamen topeng monyet di jalan-jalan dan sela-sela kota Jakarta, untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan dan menabung agar dapat kembali ke Solo. Perjumpaan kami di sebuah warung nasi adalah yang terakhir kalinya. Sejak saat itu, aku tidak tahu lagi keberadaan mereka. Namun kata-kata Tangguh selalu terngiang,
“sayangnya beliau tidak kenal biyung lagi. Beliau itu hebat tho mas ? Tapi aku kurang setuju kalau dia jadi orang nomor satu negeri ini.”
***
Suatu malam yang dingin. Aku berjalan meniti jembatan penyeberangan jalan. Aku melihat di ujung jembatan Senja tertidur di pangkuan Tangguh. Aku mendekati mereka. Tangguh mulai menitikan air mata tentu bukan tanpa sebab. Ia menceritakan biyungnya yang terjerembab di sebuah lubang yang lembab dan gelap. “Saat kami sedang menumpang mandi di pemandian umum Pintu Seng,” Tangguh berbicara dengan pilu, “aku dan Senja sedang asyik diguyuri air oleh bapak. Keriangan itu terampas ketika terdengar seperti ada benda terjatuh ke dalam sumur. Kami terkejut melihat biyung tidak ada di tempat,” Tangguh terdiam dan air matanya bercucuran, tangisnya tak terbendung lagi. Dengan terbata-bata Tangguh melanjutkan, “awalnya kami pikir biyung jatuh ke dalam sumur. Dan ternyata benar,” aku mendekati Tangguh dan mengelus pundaknya untuk sekedar menenangkan, “biyung meninggal !” Air mataku meleleh. “Bapak kalian sekarang dimana ?” Tanyaku. Tangguh menggelengkan kepala. “Yasudah, sekarang kalian tidur di tempat kost mas saja ya ? Sini biar mas yang gendong Senja.” Kami berjalan membelah dingin dan gemerlap malam Jakarta.
Tiba di kost. Tangguh langsung mengambrukkan diri diatas sofa. Senja aku baringkan di kasur. Kupandangi sejenak Tangguh dan Senja yang tertidur lelap. Ada perasaan sayang yang dalam kepada mereka. Kegetiran mereka sangat melebihi daripada apa yang selama ini aku keluhkan. Sekejam inikah kehidupan ?
***
Hari telah terik. Hari ini aku tidak ada kelas. Senin yang riang bagi senyum Senja. “Mas Tangguh, kita dimana ?” Tangguh tersenyum dan menjawab, “kita ada di kost mas Gaza.” Senja tersenyum dan melihatku yang sedang mengotak-atik kamera. “Sini kalian mas foto dulu ya.. satu.. dua.. tigaa..” Senja lantas mendekatiku. “Wah bagus fotonya mas. Senja manis ya kalau sedang senyum ?” Aku melihat kepedihan yang tersembunyi dibalik kepolosan mata Senja. Ya Tuhan, aku ingin membuat mereka selalu tersenyum.
“Mas Gaza, kamera itu pasti mahal ya ? Boleh Senja pinjam ?”
“Hust, ngawur. Jangan nanti rusak.” Cegah Tangguh.
Aku menjawab dengan sesimpul senyum, “ini punya kampus. Mas dikasih pinjam buat cari berita. Senja boleh pinjam asal jangan dibanting ya ?”
“Siap mas. Wah mas Gaza ini ternyata wartawan tho.”
“Masih wartawan kampus khok, Senja. Senja tau apa itu wartawan ?”
“Hmm.. Wartawan itu yang suka foto-foto orang demo dan pak gubernur kalo lagi blusukan mas ! Hehehe”
“Pernah tidak tulisan mas dimuat di media ? Misalnya koran gitu ?” Sejurus tanya Tangguh penasaran.
“Belum. Waktu itu pernah mas coba kirim berita soal imbas penggusuran yang membuat kalian tidur di kolong jembatan, dan membuat artikel tentang kebijakan pemerintah mengenai biyungmu yang ditolak dari rumah sakit tanpa alasan yang adil. Menurut mas, pemerintah mestinya tahu dan bertanggung jawab.”
Dahi Tangguh mengernyit. Senja masih asik memainkan kamera.
“Tapi tulisan mas ditolak mentah-mentah. Bahkan sampai-sampai mereka bilang mau menuntut mas. Sejak saat itu mas tidak lagi percaya dengan yang namanya media, entah itu televisi atau surat kabar.”
“Wah musti mereka nerima berita tentang pemerintah yang baik-baik saja tho mas ?”
“Mungkin.”
“Balik lagi ke jaman orde baru dong mas ?”
“Orde baru ?”
Tangguh bukan hanya sosok tangguh dibalik tubuhnya yang bidang dengan urat-urat yang menyembul pada lengan. Dibalik legam kulit dan rambutnya yang lusuh, terdapat sorot kecerdasan dari kedua bola matanya. Ternyata, Tangguh suka membaca koran-koran bekas dan meminjam buku-buku di taman bacaan masyarakat atau perpustakaan keliling pemerintah saat rumahnya masih diatas tanggul kali Angke. Tangguh mulai bercerita tentang apa yang ia tahu sebagai pembicaraan ringan sambil menyantap gorengan ubi, tapi aku memperhatikan dengan serius.
“Dalam budaya jawa ada kepercayaan bahwa pemimpin bangsa atau presiden Indonesia setelah ini adalah sosok pemimpin ‘Cakil’. Presiden sendiri dipercaya sebagai akhir dari siklus noto nogoro yang berakhir dengan goro-goro atau kerusuhan atau revolusi hebat di Indonesia,”
“pada Budaya Jawa dalam kisah yang lain, pak gubernur juga dianalogikan sebagai sosok Petruk. Kebetulan yang tepat kalau biyung dulu panggil dia Petruk. Terutama dalam kisah ‘Petruk Dadi Ratu’. Cakil dalam budaya Jawa dianggap sosok yang jahat, culas, licik namun mampu berkuasa karena kehebatannya. Namun kekuasaanya hanya sebentar,”
“ada juga yang menganggap Presiden kita lah sebagai cakil itu. Ketika awal berkuasa, bencana muncul di mana-mana di seluruh Indonesia, hampir setiap saat terjadi bencana. Lepas dari banyak gempa bumi, disusul dengan gempa politik,”
“sebagian lagi masyarakat Jawa percaya bahwa bencana yang timbul hanyalah baru awal dari bencana sesungguhnya yang ditimbulkan oleh Cakil. Sosok cakil itu adalah Pak Gubernur. Si Petruk Yang Pengen jadi Raja. Pak gubernur yang culas, licik, ambisius namun mampu mengelabui rakyatnya. Dia tampil seolah-olah sempurna. Kemarin blusukan dan ramah kepada rakyat, esok hari rumah warga digusur. Janji atasi banjir dan macet pun luntur.”
“Meski Cakil itu hebat, culas dan jahat. Namun dia punya kelemahan yaitu akan sial jika melihat monyet. Ya. Sial jika melihat monyet. Monyet menjadi mahluk yang sangat mengganggu dan menakutkan bagi Cakil. Rencananya akan gagal jika ada monyet di depan mata. Maka, sebelum Cakil itu menjalankan rencananya menjadi penguasa Indonesia, semua monyet harus dibasmi, dibuang jauh-jauh. Tidak ada jalan lain, semua monyet harus disingkirkan. “
“Pak gubernur kabarnya sangat ingin jadi orang nomor satu di republik ini,” potongku. Pembicaraan ringan berubah menjadi diskusi serius. Aku lantas menyambung,
“meski betul dia seorang kapitalis liberalis yang menjadi musuh soekarnois dan marhaenis, tapi rakyatnya tidak tahu. Cakil dengan dukungan para konglomerat hitam indonesia dan 87 persen media bayaran yang dibayar mahal untuk pencitraannya, mampu menipu rakyat Indonesia. Rakyat kecil tertipu. Marhaenis dan soekarnois terperdaya, seolah-olah melihat sosok Cakil sebagai penerus jiwa dan semangat Bung Karno. Luar biasa. Cakil yakin akan bisa berkuasa. Uang, media, dukungan cukong-cukong dan agen-agen asing ada padanya. Dia pasti menang jika monyet-monyet disingkirkan. Bukan begitu, Tangguh ?”
Tangguh menganggukkan kepala, Senja masih sibuk dengan kameranya. Tangguh lantas menyambung, “jika monyet-monyet pembawa sial Sang Cakil sudah disingkirkan, maka jalan Cakil untuk berkuasa terbuka lebar. Cakil tak akan terhentikan. Namun cakil hanya berkuasa sebentar. Hanya sebentar sekali. Goro-goro akan meledak. Muncul banyak sebab dan sumbernya. Indonesia kena bencana. Namun, bencana besar dan goro-goro itu adalah keniscayaan. Sudah jadi suratan takdir yang tercatat di buku saku para dewa di khayangan sana. Goro-goro dan bencana yang nanti terjadi adalah prasayarat bagi Indonesia untuk kembali bangkit menuju kejayaan dan kemakmuran bangsa,”
“republik ini akan menghadapi kerusuhan besar. Namun sebelumnya pemimpin yg sekarang akan turun telanjang, penuh malu. Presiden yang sekarang akan mengakhiri masa jabatannya dengan penuh aib di sekelilingnya yang satu per satu dibukakan Allah. Dan kalau kita cermati, memang begitulah adanya. Satu per satu aib presiden terbuka.” Sambungnya.
Aku nyeletuk dengan semangat. “Dan ketika rakyat tersadar bahwa cakil itu adalah durjana yang menyamar jadi arjuna, maka rakyat akan marah semarah-marahnya menciptkan angkara murka. Meledaklah goro-goro, kerusuhan hebat, huru hara. Bencana besar yang ditimbulkan bukan oleh alam, tapi dari manusia, dari rakyat indonesia sendiri. Lalu siapakah cakil itu?” Tanyaku penasaran.
Tangguh menjawab dengan yakin, “Cakil itu adalah Sang Petruk yang menjadi Cakil ketika takdirnya sebagai Petruk dia ingkari dan tetap ngotot menjadi Raja. Jika Petruk sadar, maka cakil akan menghilang dari jiwanya, tapi jika Petruk tetap ngotot, maka roh jahat cakil bersemayam dalam jiwanya !”
Diskusi selesai, diakhriri dengan riang canda tawa. Senyum penuh tanya Tangguh kemarin dulu yang aku potret telah memberikan jawaban. Aku lantas menyalakan televisi, memastikan sandiwara apa yang sedang dipaparkan media. Benar saja, Sang Gubernur merazia monyet-monyet dari ibu kota. Menurutnya monyet-monyet perlu dilindungi. Mempekerjakan monyet dianggapnya tidak ber-peri-kehewanan. Kenapa tidak anak-anak seperti Tangguh dan Senja saja yang dilindungi ? Ada apa ini ?
Tangguh terkejut melihat gambar bapaknya dalam siaran langsung berita tersebut. Bapaknya dengan muka tidak berdosa menghadap kamera lalu berkata, “Tangguh dan Senja. Sebentar lagi bapak pulang bawa martabak..” Gambar tersebut langsung terpotong jeda pariwara. Kami lantas bergegas untuk menuju lokasi. Agaknya aku tahu lokasi pemaparan berita tadi. “Ayo kita segera kesana buat ketemu bapak kalian.”
***
Tiba di lokasi, nampak pamong praja yang berjaga-jaga dan beberapa wartawan yang sedang entah merembukkan apa. Kami tidak menemukan yang kami cari. Kami bertanya kepada beberapa orang bahwa pemilik monyet-monyet dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Ketika hendak bergegas menuju kantor polisi, diseberang jalan terjadi keributan. Terdengar jeritan seorang wanita, “iya.. dia jambretnya.. bakar saja...” Aku lantas bergegas untuk melihat. “Kalian tunggu disini.” Kataku sambil memegang pundak Senja. Tangguh terlihat menanyakan sesuatu pada seseorang yang melewatinya, sayup-sayup terdengar olehku, “tadi ada orang setengah gila yang coba jambret tasi ibu itu. Orang-orang langsung menghajar dia.” Tanpa berpikir panjang, tangguh berlari menuju keramaian sambil berteriak,
“bapaaaaaak !!!”
Senja sembari terisak berlari mengejar kakaknya. Beberapa pamong praja juga bergegas untuk menghentikan aksi orang-orang yang main hakim sendiri. Wartawan-wartawan lantas sibuk mengambil gambar. Aku berlari mengikuti arah Tangguh dan Senja. Senja menangis dan meneriakkan nama bapaknya. Tangguh membelah keramaian, betapa ia sangat terkejut sekaligus heran dengan apa yang ia lihat.
“Bukan. Itu bukan, bapak !” Tegas Tangguh kepada adiknya. Mereka lantas berlari menjauhi keramaian itu. Salah seorang kulihat dalam keadaan babak belur. Pemandangan tragis itu harus disimpan dalam benak seorang anak seusia Tangguh dan Senja. Aku sangat lega ternyata yang dihajar massa itu bukan bapak mereka.
Kami lantas menuju kantor polisi dengan harapan menemukan bapak Tangguh dan Senja disana. Di ujung jalan, terlihat massa buruh yang berkonvoi dan meneriakkan tuntutan kenaikan upah, ironis sekali. Kami melawan arus tersebut dengan berlari untuk segera menuju kantor polisi. Tiba di kantor polisi. Seorang laki-laki dengan rambut ikal keluar dari dalam kantor polisi. Tubuh kurusnya seperti terbakar terik matahari. Dia melangkah gontai. Pakaiannya yang menyisakan ruang terombang-ambing oleh angin. Tangan kanannya memegangi pelipis. Alisnya beradu dan tatapan matanya sendu. Sejurus tubuhnya ambruk menghujam tanah. Tangguh dan Senja berlari menghampiri laki-laki itu sambil terisak dan dan berteriak sejadi-jadinya,
“BAPAAAAAAAAAAAAAAK !!!”
Purwokerto, 13 November 2013.
0 comments:
Posting Komentar